Mengefektifkan Perubahan Untuk Mewujudkan Polri Yang Lebih Baik

 

Pendahuluan

Reformasi 1998 dapat dikatakan sebagai realitas sejarah bangsa Indonesia, karena kehadirannya telah meniadakan rezim otoritarian melalui segenap perubahan. Pasca reformasi, berbagai pembenahan terus terjadi, berjalan paralel dengan perbaikan sistem tata kelola pemerintahan yang mengusung prinsip-prinsip clean government dan good governance.

Pemerintah bahkan mengeluarkan seperangkat peraturan sebagai visi yang berkelanjutan berwujud RPJPN, RPJMN, serta RKP pada setiap tahunnya. Dalam penataan reformasi birokrasi, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 81 Tahun 2010, sebagai acuan bagi K/L/Pemda dalam melakukan langkah pembenahan sehingga mampu meraih kepercayaan masyarakat. Sebagaimana pendapat Gadot & Mizrahi (dalam Atmaji, 2016, hlm.2) yang mengemukakan bahwa “…inefisiensi dan ketidakadilan dalam pelayanan publik merupakan sumber utama ketidakpercayaan publik kepada pemerintah…”, sehingga public trust menjadi penting di era demokratisasi ini.

Sebagai institusi negara, Polri juga melakukan serangkaian pembenahan internal. Salah satunya adalah dengan mengeluarkan program unggulan dalam rangka meraih keberhasilan segera (Quick Wins) yang mencangkup empat hal, yakni : 1) Quick Response, 2) Transparansi penyidikan, 3) Transparansi pelayanan SIM, STNK, dan BPKB, dan 4) Transparansi rekruitment. Keempat hal ini dipandang sebagai produk utama dari pelayanan Polri yang memiliki daya ungkit kuat (key leverage), yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat serta bisa direalisasikan dalam waktu yang pendek.

Program transparansi pelayanan SIM, STNK, dan BPKB diharapkan dapat menjadi etalase pelayanan prima kepolisian dibidang lalu lintas, karena diterapkan dengan prinsip-prinsip kesederhanaan, keterbukaan, kejelasan, kepastian waktu, kemudahan akses, dan keramahan petugasnya, khususnya pelayanan penerbitan SIM karena merupakan domain Polri dalam mengoperasionalisasikannya.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf c UU Nomor 2 Tahun 2002 dan Pasal 87 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ, kewenangan menerbitkan SIM berada pada institusi Polri. Tidak dapat dipungkiri, penerbitan SIM menjadi salah satu penyumbang PNBP dimana pada 2017 Polri menerima penghargaan sebagai lembaga pengelola PNBP terbaik pertama versi Kemenkeu RI.

Namun dibalik pelayanan tersebut, ruang-ruang bagi terjadinya praktik pungli masih ada, sehingga memaksa pemerintah pada tahun 2015 untuk mengeluarkan seperangkat kebijakan reformasi hukum. Pada 2015, Rule of law index Indonesia baru mencapai 0,52 point atau berada pada ranking 52 dari 68 negara, sedangkan indeks persepsi korupsi masih berada pada peringkat 88 dari 168 negara. Satu diantara objek sasaran revitalisasi hukum adalah perbaikan layanan publik dibidang penerbitan SIM.

Preferensi pungli pada penerbitan SIM dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti budaya organisasi yang masih permisif terhadap adanya pungutan liar. Namun kondisi ini sebenarnya dapat diatasi dengan model kepemimpinan yang kuat dari unsur pimpinan yang membidangi penerbitan SIM itu sendiri. Neo dan Chen (dalam Atmaji, 2009, hlm.2) menegaskan bahwa “…budaya mewakili proses pembelajaran bersama dalam menghadapi masalah dimasa lalu, sehingga unsur kontekstualitas budaya sangat penting dalam keberhasilan strategi reformasi birokrasi…”. Dalam konteks yang bersinggungan, dikatakan bahwa, “…everything rises and fall on leadership…” (Maxwell, 1998,hlm.135), sehingga segala sesuatu (dalam aspek kontekstual) sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan.

Penulisan essay dengan mengangkat judul “Mengefektifkan Perubahan Untuk Mewujudkan Polri Yang Lebih Baik“, menjustifikasi pemikiran penulis berdasarkan refleksi pengalaman saat berdinas di fungsi lalu lintas. Tulisan ini dibatasi  dengan ruang lingkup pada pelayanan penerbitan Surat Ijin Mengemudi (SIM) baru di Polres Berau pada tahun 2015, dimana saat itu penulis menjabat sebagai Kasat Lantas Polres Berau, Polda Kalimantan Timur. Dengan memanfaatkan momentum reformasi birokrasi dalam bidang pelayanan penerbitan SIM, penulis mengedepanan aspek kepemimpinan untuk membawa perubahan gun mewujudkan pelayanan penerbitan SIM yang lebih baik lagi, sehingga kepercayaan masyarakat bisa diraih.

 

Pembahasan

Kabupaten Berau – Kaltim memiliki luas wilayah 34.127,47 km2 serta terdiri dari 52 pulau dengan 13 kecamatan, 10 kelurahan, dan 100 kampung/desa dan jumlah penduduk pada tahun 2016 mencapai 214.828 jiwa. Pada wilayah ini, Polres Berau menjalankan tugas dan fungsi kepolisian dengan didukung 519 personel baik yang berada di Polres maupun di 13 Polseknya.

Sat Lantas Polres Berau, memiliki 48 personel, dimana 7 orang diantaranya mengawaki Satpas Pada saat penulis berdinas tahun 2015, dari 7 personel Satpas hanya ada 1 orang personel yang telah memiliki kualifikasi penguji SIM (sertifikasi 2015). Pemohon SIM baru pada tahun 2013 rata-rata sebanyak 923 pemohon/bulan dengan realisasi penerbitan sebesar 99,4%. Tahun 2014, jumlah pemohon SIM baru berkurang menjadi rata-rata 882 pemohon/bulan dengan realisasi 99,5%. Sedangkan pada tahun 2015, jumlah pemohon SIM baru sebanyak 738 pemohon/bulan dengan realisasi penerbitan sebesar 97%. Sebagai catatan, jumlah terendah penerbitan SIM baru terjadi di bulan Agustus s.d Oktober 2015 saat penulis menjabat sebagai Kasat Lantas, dimana SIM baru hanya diterbitkan sebanyak 300 buah SIM pada setiap bulannya.

Pada awal bertugas sebagai Kasat Lantas, penulis mendapatkan fakta masih terjadinya praktik pungli dalam pelayanan penerbitan SIM, sekalipun saat itu institusi Polri melalui Korlantas Polri telah mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan segala praktik pungutan liar khususnya dibidang pelayanan SIM. Selain itu, ditemukan pula adanya perbedaan antara jumlah produksi SIM dengan jumlah PNBP setoran SIM yang masuk ke kas negara melalui Bank BRI pada Satpas Polres Berau, dan sekelumit permasalahan lainnya seperti tidak adanya lapangan ujian praktik penerbitan SIM, klipeng yang masih harus menginduk di Polres terdekat lainnya. Praktik pungli SIM terjadi dalam berbagai rupa, satu yang paling sering terjadi adalah praktik SIM tembak dimana sesungguhnya pemohon tidak memenuhi syarat untuk memperoleh SIM namun tetap diberikan oleh petugas.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya praktik pungli dalam penerbitan SIM di Satpas Polres Berau, antara lain lemahnya komitmen pimpinan di fungsi lalu lintas, budaya anggota yang masih permisif terhadap praktik pungli, minimnya dukungan sarpras ditandai dengan tidak adanya klipeng dan lapangan uji praktik bagi pemohon SIM baru. Selain itu, budaya masyarakat yang malas mengantri, sertifikasi sekolah mengemudi yang tidak terakreditasi, serta tingkat kesadaran masyarakat akan kualifikasi kompetensi dari selembar kartu SIM, serta terbukanya peluang percaloan dalam penerbitan SIM, membuat praktik ini berjalan mulus.

Surat Ijin Mengemudi (SIM) sebagaimana pengertian dalam Perkap Nomor 9 Tahun 2012 tentang Surat Ijin Mengemudi, dikatakan sebagai tanda bukti legitimasi kompetensi, alat kontrol, dan data forensik kepolisian bagi seseorang yang telah lulus uji pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan untuk mengemudikan Ranmor di jalan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan berdasarkan Undang-undang Lalu lintas dan Angkutan Jalan (pasal 1 ayat (4) Perkap No.9 tahun 2012). Aktualisasi dari SIM itu sendiri sebagai privilege yang diberikan negara kepada seseorang yang dianggap layak dan telah memenuhi segala persyaratan bagi penerbitan SIM itu sendiri. Sehingga dalam implementasinya, seseorang yang memiliki SIM diartikan sebagai seseorang yang telah lulus uji kompetensi baik secara teori maupun praktik serta memiliki kesadaran, kepekaan, dan keperdulian akan keselamatan berlalu lintas untuk dirinya maupun bagi orang lain. Hal ini mengingat, lalu lintas adalah urat nadi kehidupan, karena didalam lalu lintas memuat kepentingan hidup dari banyak orang.

Mendasari hal tersebut, dalam menjawab bagaimana kontekstualisasi pelaksanaan reformasi birokrasi melalui kepemimpinan yang kuat pada proses penerbitan SIM di Satpas Polres Berau, penulis menggunakan teori kepemimpinan Brian Tracy (2009), dimana terdapat 7 tanggung jawab utama dari seorang pemimpin (The Seven Responsibilities of Leadership), yang diimplementasikan melalui kegiatan – kegiatan berikut ini :

  1. Set and Achieve Business Goals

Alasan nomor satu untuk kegagalan pemimpin adalah ketidakmampuan untuk mencapai tujuan, pertumbuhan, dan profitabilitas dimana tanggung jawab pemimpin dibutuhkan. Karena itu penting bagi seorang Kasat Lantas untuk memahami tujuan utama pemberian SIM bagi masyarakat, dimana SIM bukanlah sebuah produk yang bisa diperjualbelikan layaknya sebuah barang.

  1. Innovate and Market

Hanya melalui inovasi produk, layanan, proses, dan metode promosi menarik, yang dapat mempertahankan pelanggan. Pada layanan SIM baru, pelanggan adalah pemohon, yakni masyarakat yang mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian SIM. Tahapan inovasi adalah bagian yang paling disukai oleh sebagian besar Polisi muda, karena dengan menerapkan creative breakthrough mereka dapat mengaktualisasikan daya imajinasinya. Karenanya, terdapat beberapa upaya yang diterapkan penulis, antara lain :

  1. Ruangan Satpas dibuat terbuka dan dihiasi dengan pengumuman-pengumuman seputar layanan SIM baru secara menarik serta penekanan pada besaran biaya yang dibutuhkan;
  2. Memberikan keterampilan public speaking kepada petugas bagian pendaftaran, sehingga mempunyai kelebihan dalam komunikasi khususnya dalam menciptakan kenyamanan bagi pelanggan;
  3. Bekerjasama dengan Bank BRI untuk membuat model pendaftaran FIFO (First In First Out) sehingga memudahkan masyarakat dalam mengantri;
  4. Bekerjasama dengan pihak sekolah mengemudi untuk menyediakan ruang baca pada Satpas berisikan majalah, koran, buku anak-anak, sehingga bisa memberikan kenyamanan bagi pemohon SIM;
  5. Bekerjasama dengan Pemda untuk membangun lapangan uji praktik SIM, melalui mekanisme yang sesuai dengan ketentuan sehingga masyarakat bisa mengikuti seluruh proses ujian dengan tertib;
  6. Mendekatkan loket pelayanan BRI dengan loket pendaftaran, sehingga tidak ada petugas yang bersentuhan langsung dengan masyarakat;
  7. Membangun daya saing personel melalui pemilihan personel Satpas terbaik di setiap bulannya, pemenang akan diberikan penghargaan oleh Kapolres secara terbuka saat kegiatan apel pagi;
  8. Membuka kelas coaching clinic bagi pemohon yang gagal, dengan pemateri dari Sekolah Mengemudi yang ada;
  9. Bekerjasama dengan media cetak lokal, guna melakukan peliputan terkait kegiatan-kegiatan menarik dalam proses pembuatan SIM, sehingga informasi seputar penerbitan SIM dapat terupdate.
  10. Solve Problems and Make Decisions

Ketidak mampuan untuk mencapai tujuan, diawali dengan ketidak mampuan mendeskripsikan permasalahan yang ada. Faktor terkuat dari permasalahan pungli SIM adalah budaya personel yang paralel dengan budaya masyarakat seperti halnya supply and demand pada ilmu ekonomi. Masyarakat ingin segera mendapatkan SIM baru dan personel ingin mendapatkan insentif tidak resmi dari pelayanan yang diberikan.

Sedari awal, petugas Satpas telah diingatkan untuk tidak lagi melakukan praktik pungli utamanya pada proses penerbitan SIM baru. Mekanisme pengawasan yang paling simpel adalah menempatkan personel yang memiliki integritas dan komitmen kuat di sektor pelayanan SIM, namun aspek kuantitas personel Lantas membuat Kasat Lantas tidak memiliki banyak pilihan. Karena itu, penerapan model Reward and Punishment yang kuat penting untuk diterapkan. Pemberian hukuman diterapkan dalam 3 tahap, mulai dari teguran pertama, teguran kedua dan terkahir adalah pemeriksaan oleh propam Polres. Tahapan pemberian hukuman ini perlu untuk tidak lakukan guna mencegah terjadinya demotivation dan resistensi personel.

Kasat Lantas memanfaatkan momentum Reformasi Birokrasi Polri serta program Quick Wins Polri yang menetapkan transparansi pelayanan SIM sebagai alasan utama meniadakan pungli. Program tersebut diputuskan pada tataran pengambil kebijakan, sehingga tanpa kepemimpinan kuat Kasat Lantas maka program tersebut tidak akan dapat bergulir dan diterima oleh petugas dikalangan grass roat.

 

  1. Set Priorities and Focus on Key Tasks

Pada tahapan ini, Kasat Lantas perlu untuk memutuskan bagian mana yang akan didahulukan untuk dilakukan perbaikan. Dari sudut pandang pelayanan, Satpas melayani pelayanan penerbitan SIM baru dan SIM perpanjangan, dan tanpa bermaksud membenarkan proses pemberian SIM pada tahun-tahun sebelumnya, namun penulis memandang penerbitan SIM baru adalah aspek yang harus atau lebih diperioritaskan. Sehingga visi yang dibangun Kasat Lantas dalam meniadakan pungli SIM ditekankan pada proses pelayanan penerbitan SIM baru, dengan tetap memberikan tekanan pada layanan Satpas lainnya seperti layanan uji praktik, layanan uji teori, layanan kesehatan, maupun SIM keliling.

 

  1. Be A Role Model to Others

There are no bad soldiers under a good general, sehingga gambaran sikap, perilaku, cara berbicara dari pimpinan akan mampu menggambarkan sikap dan perilaku dari organisasi itu sendiri. Tahapan ini adalah bagian yang paling sulit, karena kebanyakan orang berpikir untuk melakukan perubahan namun tidak berpikir untuk  merubah dirinya. Kasat Lantas harus secara tegas dan terbuka mengatakan tidak ada pungli pada layanan penerbitan SIM, mengkomunikasikannya dengan Kapolres, dan diimplementasikan secara konsisten.

 

  1. Persuade, Inspire, and Motivate Others to Follow You

Disini, pemimpin harus bisa memastikan bahwa dirinya mampu menjadi motivator unggul agar bawahan bisa mengikuti visi organisasi yang telah ditetapkan. Ada dua pendekatan yang dikedepankan, pertama adalah pendekatan religi dengan mengajak personel untuk memperkuat aspek rohani bagi diri masing-masing, yang kedua adalah pendekatan emosional dengan menempatkan personel sebagai patrner dalam bekerja. Kasat Lantas secara bergiliran meluangkan waktu untuk bersama-sama anggota Satpas memberikan pelayanan SIM baru kepada pemohon, diluar jam dinas Kasat Lantas secara berkelanjutan membangun hubungan emosional dengan keluarga (istri dan anak) dari para personel Satpas.

 

  1. Performs and Get Results

Tahapan akhir dari tanggung jawab seorang pemimpin adalah performa yang optimal untuk mendapatkan hasil. Pada tahap awal penerapan area bebas pungli pada pelayanan SIM baru di Satpas adalah menurunnya jumlah penerbitan SIM secara drastis. Dari rata-rata 738 pemohon pada setiap bulannya, menjadi hanya 300an pemohon di bulan Agustus-September-Oktober 2015. Hal ini adalah konsekuensi logis dari penertiban pelayanan SIM baru, khususnya kepada pemohon yang gagal melewati uji praktik maupun uji teori.

Namun demikian, kondisi ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, sehingga Kasat Lantas memandang perlu untuk menggandeng pihak sekolah mengemudi untuk melaksanakan coaching clinic kepada pemohon yang gagal, agar target pencapaian PNBP dapat tetap terrealisasi sebagaimana yang telah ditetapkan.

Selain itu mekanisme pengembalian uang pendaftaran pemohon yang gagal juga terus menerus dijajaki karena dalam sistem perbankan uang masuk langsung kedalam sistem (tidak disimpan dalam bentuk cash) sehingga untuk mengeluarkannya kembali harus dilakukan melalui mekanisme yang diatur oleh pihak bank itu sendiri.

 

Penutup

Kepemimpinan (leadership) adalah faktor penentu dalam keberhasilan peniadaan pungutan liar pada proses penerbitan SIM baru di Satpas Polres Berau periode 2015. Bukan saja oleh pemimpin pada middle level manager (Kasat Lantas) namun juga termasuk pada pemimpin yang berada pada top manager (Kapolres).

Pimpinan tidak bisa mengabaikan permasalahan-permasalahan yang muncul karena berbagai faktor yang mempengaruhinya, karena dirinya harus berdiri paling depan dalam menganalisa masalah serta menjadi problem solver dari setiap masalah tersebut.

Dengan ditiadakannya pungutan liar, maka secara otomatis akan terjadi pengurangan jumlah pemasukan (ilegal) bagi para petugas Satpas dan Kasat Lantas tidak akan mampu (berdasarkan level kemampuannya) untuk menggantikan pemasukan yang telah hilang tadi. Namun pelayanan Kepolisian bukanlah pelayanan yang profit oriented, karenanya jika personel diberikan pemahaman melalui pendekatan emosional yang tepat akan dapat memberikan kesadaran ulang akan tugas dan fungsi kepolisian yang telah dipercayakan masyarakat kepadanya.

Disamping itu, peran Kapolres juga dibutuhkan dalam menjaga motivasi personel, Kapolres bisa hadir sebagai pembangkit semangat dengan memberikan apresiasi dan penghargaan (reward) kepada petugas-petugas yang dianggap berprestasi. Kondisi ini harus berjalan secara beriringan, sehingga demotivasi petugas tidak akan pernah muncul dan resistensi tidak akan pernah terjadi. Karena pada prinsipnya, seluruh petugas pada sebuah fungsi di suatu Polres adalah keluarga kecil yang bekerja secara bersama-sama dalam menjalankan tugas dan perannya. Sisi emosional inilah yang tidak dapat diabaikan oleh pemimpin, karena sangat penting menjaga motivasi dan semangat personel sehingga tujuan organsiasi dapat tercapai.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Republik. 2002. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Indonesia, Republik. 2009. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Polri, Mabes.2012. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Surat Ijin Mengemudi.

Buku/Artikel

Atmaji, Dwi Wahyu. 2009. Relevansi dan Kontekstualisasi Strategi Reformasi Birokrasi 2015-2019.

Maxwell, John C. 2009. The 21Irrefutable Laws Of Leadershi. Follow Them And People Will Follow You. Thomas Nelson Publishers. Hal.135

Tracy, Brian. 2009. How The Best Leaders Lead. Course Material, Professional Education Service, LP. Hal. I-2

Website

Hidayat, Ferli. 2016. Reformasi Hukum. Diakses dari www.ferli1982.wordpress.com pada 31 Mei 2019 pukul 21.35 WIB.

Hidayat, Ferli. 2011. Reformasi Birokrasi Polri Dalam Bingkai Kemandirian dan Profeionalitas. Diakses dari www.ferli1982.wordpress.com pada 30 Mei 2019 pukul 08.00 WIB.