PEMBUKTIAN ILMIAH DALAM PENANGANAN LAKA LANTAS

Tidak dapat kita pungkiri, perkembangan peradaban telah membawa perubahan besar terhadap kehidupan manusia. Demikian pula dengan perkembangan lalu lintas jalan raya, dimana setiap tahunnya pertumbuhan jumlah kendaraan semakin meningkat. Kemunculan berbagai jenis produk kendaraan dengan segala fasilitas dan desain yang memberikan kenyamanan bagi pengendaranya semakin hari semakin meningkat.
Salah satu permasalahan yang muncul dari perkembangan jumlah kendaraan ini adalah meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas merupakan permasalahan global yang sejak tahun 2004 telah menjadi salah satu fokus utama dalam Sidang Umum PBB. Hal ini bisa dipahami, mengingat kecelakaan merupakan penyebab utama kematian khususnya pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Indonesia saat ini memiliki UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menjadi payung hukum pelaksanaan tugas pokok Kepolisian dibidang lalu lintas. Kecelakaan dalam perundang-undangan diartikan sebagai peristiwa dijalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Dalam peraturan tersebut, diatur pula mengenai akibat hukum serta sanksi yang mengancam bagi pengemudi yang lalai dalam mengendarai atau mengemudikan kendaraan.
Sebagai salah satu penyumbang angka kematian terbesar, sudah selayaknya permasalahan kecelakaan ini menjadi perhatian bersama dari institusi dan lembaga terkait. Sebagian besar dari masyarakat kita seringkali mengabaikan permasalahan keselamatan berlalu lintas ini, mulai dari rendahnya kesadaran dalam keselamatan berlalu lintas, pelanggaran terhadap aturan berlalu lintas, hingga permasalahan buruknya kondsi jalan yang seringkali memicu terjadinya kecelakaan lalu lintas (laka lantas).
Salah satu masalah yang muncul dalam penanganan laka lantas adalah munculnya pemikiran mengenai benar atau salah berdasarkan pada logika sederhana, seperti apabila terjadi kecelakaan antara sepeda motor menabrak pejalan kaki, maka pastilah si pengendara sepeda motor adalah pihak yang bersalah. Atau apabila terjadi tabrakan antara pengemudi roda empat dengan roda dua maka pastilah pengemudi roda empat sebagai pihak yang lalai. Kesimpulan sementara berdasarkan pengamatan seringkali memunculkan kekeliruan dalam membuktikan siapa pihak yang bersalah dalam sebuah laka lantas.

PEMBUKTIAN LAKA LANTAS
Dalam aturan beracara pidana, untuk membuktikan kesalahan seseorang setidaknya diperlukan 2 (dua) alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim. Dalam teori pembuktian, metode pembuktian yang dilaksanakan di Indonesia ini dikenal dengan nama pembuktian negative (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie). Pada pasal 184 KUHAP kita mengenal alat bukti yang sah, yakni Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan Terdakwa. Alat bukti inilah yang harus dapat dikumpulkan oleh penyidik sebagai bahan bagi Hakim dalam menentukan bersalah atau tidaknya seseorang.
Dalam sebuah laka lantas, maka perlu dibuktikan apakah benar peristiwa yang terjadi adalah perkara pidana, siapakah pelaku yang harus bertanggung jawab, apakah ada peraturan perundang-undangan yang dilanggar, serta apa sanksi yang mengancam pelaku tersebut. Disamping itu, perlu kiranya mengetahui mengenai kesalahan yang dilakukan oleh pelaku apakah dilakukan dengan sengaja (dolus) atau karena kealpaannya (culpa). Dengan demikian, penentuan tersangka dalam sebuah kasus laka lantas tidak dapat menggunakan asumsi, ataupun hanya mengandalkan penerapan hukum positif secara kaku. Begitu banyak aspek yang harus dibuktikan sehingga peristiwa tersebut dapat terurai secara terang benderang.
Kasus laka lantas di Jakarta Selatan yang menimpa artis Ari Wibowo saat mengendarai motor Ducati B 3712 SGO menyebabkan tewasnya seorang kakek bernama Carmadi (80 Thn) dapat menjadi contoh teranyar. Sekilas kita akan menyalahkan pengemudi kendaraan bermotor karena ketidak hati-hatiannya, terlebih para pengemudi kendaraan harus mengutamakan keselamatan pejalan kaki. Rekaman CCTV menunjukkan dimana Carmadi menyebrang dengan tidak memperhatikan keselamatan serta tidak menyebrang ditempat penyebrangan. Sekalipun pasal 131 UU No 22 tahun 2009 telah mengatur bahwa pejalan kaki berhak mendapatkan prioritas, namun terbatasi dengan syarat tentang sarana penyebrangan, karena ketika sarana penyebrangan tidak ada maka kewajiban pejalan kaki adalah memperhatikan keselamatan dan kelancaran arus lalu lintas.
Salah satu hal yang dapat dipetik dari kasus tersebut adalah begitu pentingnya proses pembuktian secara ilmiah pada kasus laka lantas. Seorang penyidik harus mampu menemukan bukti-bukti yang tersedia dari Tempat Kejadian Perkara (TKP) laka lantas. Bukti tersebut tentu saja merupakan bukti yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum serta benar dalam logika berpikir secara umum, artinya bukti yang diangkat merupakan hasil dari analisa ilmiah. Merupakan hal yang sangat esensial bagi penyidik saat dia mendatangi sebuah TKP laka lantas, maka tidak dibenarkan memberikan pernyataan berdasarkan asumsi semata, namun diwajibkan mengolah hasil TKP agar peristiwa yang terjadi dapat terurai secara terang benderang. Hal ini dapat saja meliputi faktor kecepatan, waktu reaksi yang tersedia, beban kendaraan, sampai dengan kondisi geometri jalan dan lingkungannya.

ANALISA KECELAKAAN LALU LINTAS
Dimanapun terjadi sebuah kejahatan (pelanggaran), maka disana pulalah jawaban dari kejahatan tersebut dapat diungkap. Dalam sebuah Novelnya yang terkenal, Agatha Cristie pernah menyatakan bahwa tidak ada kejahatan yang sempurna, artinya setiap kejahatan pasti meninggalkan jejak yang dapat diurai menjadi sebuah rangkaian peristiwa berupa fakta sebenarnya. Demikian pula adanya dengan kasus kecelakaan lalu lintas, dimana peristiwa tersebut sejatinya dapat diurai sesuai dengan kejadian sebenarnya.
Pada titik inilah dibutuhkan kejelian seorang penyidik dalam mengurai dan mencari bukti-bukti yang (sesungguhnya) tersedia agar dapat membuat terang suatu peristiwa. Tempat pertama yang memiliki segudang jawaban tentang bukti tersebut adalah Tempat Kejadian Perkara (crime scene). Secara teoritis ada beberapa jejak yang harus dilihat oleh petugas Olah TKP pada TKP laka lantas, yaitu :
1) Bekas ban :
a) Bekas ban tergelincir atau selip (slipping atau skidding)
b) Bekas ban saat pengereman tak terblokir
c) Bekas ban beraturan akibat pengereman.
d) Bekas ban saat pengereman terblokir.
e) Bekas ban berupa drifting (penyimpang)
2) Bekas ban tergelincir, selip ataupun bekas cetak tapak ban pada bahu jalan.
Kemudian setiap tanda berbeda jauh dalam keterlambatan. Hasil dari perlambatan dan tanda yang ada menunjukkan adanya energi yang hilang atau kecepatan yang berkurang.
3) Bekas goresan
4) Titik pendaratan dan jarak lontaran :
a) pejalan kaki
b) sepeda dan sepeda motor
c) daerah konsentrasi pecahan kaca
d) jarak lompatan kendaraan
5) Kerusakan kendaraan dan penyimpangannya
6) Apakah sabuk pengaman dan kantong udara berkerja dengan baik .
7) Karakteristik speedometer dan tachograph.
8) Data dari kotak hitam

Pada titik tersebut diatas, petugas olah TKP harus benar-benar melakukan pendataan akurat agar semua data dapat menjadi input yang akurat dalam merangkaian kejadian yang sebenarnya.