KONFLIK SOSIAL DAN RESOLUSINYA PADA KASUS KERUSUHAN TARAKAN

I. PENDAHULUAN
Kemajemukan masyarakat Indonesia bukan hanya terdapat pada keanekaragaman corak kesukubangsaan dan kebudayaannya secara horizontal, tetapi juga secara vertikal atau jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial-politiknya.Terkait dengan hal ini, maka keanekaragaman suku bangsa dan budaya yang terdapat di Indonesia dapat dilihat sebagai sebuah potensi kekuatan sosial yang mampu menciptakan landasan persatuan dan kesatuan nasional. Namun di sisi lain, juga dapat menimbulkan potensi terjadinya konflik yang tidak mampu dideteksi sedini mungkin karena sifatnya yang cepat membesar dan semakin luas, sehingga pada akhirnya akan mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat
Keanekaragaman atau pluralisme faktor struktural dan kultural masyaraat merupakan ciri yang memperlihatkan kecenderungan kuat pekanya kehidupan sosial masyarakat untuk terjadinya konflik atau pertentangan sosial. Menurut Pelly (1995) apabila faktor-faktor pluralisme vertikal dan horisontal berimpitan pada komunitas masyarakat, maka intensitas konflik di dalam masyarakat akan menjadi sangat tinggi, dengan kata lain konflik terbuka sewaktu-waktu mudah terjadi.Konflik sosial di Indonesia tidak lepas dari sejarah bangsa dalam mengarungi perkembangannya. Sejak abad 19 perhatian dunia terhadap wilayah ini cukup besar, antara lain karena letak geografis yang strategik dan potensial sumber daya alamnya. Kondisi tersebut telah merangsang negara lain untuk mencari keuntungan di negara Indonesia. Selain itu konflik sosial di Indonesia sangat mungkin disebabkan oleh masuknya peraddaban industri ke dalam masyarakat agraris yang belum siap mengikuti pola kehidupan baru. Tingkah laku masyarakat agraris yang memiliki ciri sangat berbeda dengan masyarakat industri di dorong kebijakan politik atau karena globalisasi sehingga terjadi perubahan sosial yang kurang bermanfaat bagi masyarakat.
Berbagai kebijakan sosial ekonomi pemerintahan telah mengenalkan sejumlah unsur-unsur kehidupan baru. Masyarakat Indonesia yang menjadi sasaran kebijakan itu masih memegang tradisi lama, meskipun ada juga beberapa kelompok etnik telah mampu menyesuaikan diri. Introduksi dan implementasi sistem sosial dan ekpnomi baru (kapitalis dan industrialisasi) sangat dimungkinkan lebih merupakan alasan terjadinya eksploitasi terhadap otensi sosial, budaya dan alam Indonesia, karena tidak memperdulikan kenyataan dan mengesampingkan harapan masyarakat.Pada mulanya pengaruh-pengaruh dari luar tersebut masih bisa di saring oleh norma dan tatanan masyarakat bahkan ada yang menjadi pelengkap dan memperkaya kasanah sosial budaya bangsa Indonesia. Pengaruh sosial budaya yang disertai oleh kedatangan masyarakat pendukungnya, pada satu sisi melengkapi tradisi masyarakat setempat namun di sisi lain meninggalkan enklaf-enklaf pada masyarakat yang sistem kehidupan mereka tidak seutuh pendahunya. Begitu pula dengan pengaruh agama, karakteristik dan tradisi dari kelompok masyarakat penyebar agama itu telah memberi warna kehidupan agama yang tidak selalu serupa dengan sumbernya.
Kalimantan merupakan pulau terluas kedua di Indonesia yang luasnya hampir ⅔ dari wilayah Indonesia (dengan luas wilayah 743.330 km²), dan terletak di sebelah utara Pulau Jawa dan di sebelah barat pulau Sulawesi. Secara keseluruhan pulau yang disebut Borneo ini terbagi atas 3 (tiga) wilayah, yaitu Brunei, Indonesia dan Malaysia. Wilayah Kalimantan terbagi dalam 4 (empat) propinsi yaitu Kalteng, Kaltim, Kalsel dan Kalbar. Secara demografi, pulau Kalimantan dihuni berbagai suku bangsa baik asli maupun pendatang, seperti suku Tidung dan Bugis (Kaltim), suku Dayak Sampit dan Madura (Kalteng), suku Melayu, Sambas dan Jawa (Kalbar), serta suku Dayak Meratus dan Makasar (Kalsel). Adanya kemajemukan dalam tatanan masyarakat di pulau Kalimantan menimbulkan dampak negatif, salah satunya terjadinya potensi konflik yang dilakukan antara penduduk asli dengan kelompok pendatang, sesama pihak pendatang, atau konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Permasalahan hubungan antara pendatang dengan masyarakat setempat pada umumnya berpusat pada masalah persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya. Oleh karena itulah, masyarakat setempat (penduduk asli) melihat dirinya sebagai tuan rumah serta pemilik atas sumber daya-sumber daya yang ada di dalam wilayahnya. Sedangkan bagi para pendatang, keberadaannya hanya dilihat sebagai tamu.
Begitupula dengan apa yang terjadi pada kasus kerusuhan di Tarakan pada September 2010. Perbedaan kepentingan serta buruknya interaksi sosial diantara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang telah menciptkan konflik sosial yang merugikan banyak pihak. Kota yang terkenal dengan nama “Bumi Paguntaka” memiliki karakteristik masyarakat yang majemuk, karena terdiri atas sejumlah suku bangsa dan etnis yang hidup saling berdampingan dalam suasana kebudayaan umum-lokal, namun tetap mempertahankan identitas sosial-budayanya. Konflik yang melebar pada terjadinya pertikaian tersebut tidak hanya menyebabkan korban jiwa semata, namun juga membuat ribuan warga lainnya terpaksa mengungsi keluar kota Tarakan.
II. PEMBAHASAN
Landasan Teori
Dalam International Encyclopaedia of The Social Sciences Vol. 3 (halaman 236-241) diuraikan mengenai pengertian konflik dari aspek antropologi, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling tidak dua pihak; di mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk agama tertentu . Dengan demikian pihak-pihak yang dapat terlibat dalam konflik meliputi banyak macam bentuk dan ukurannya. Lebih jauh Mulyadi (2002) menyampaikan bahwa apabila dicermati dalam kehidupan sosial komponen utamanya adalah interkasi antara para anggota. Sehubungan dengan interaksi antara anggota itu ditemukan berbagai tipe. Tipe-tipe interaksi sosial secara umum meliputi cooperative (kerjasama), competition (persaingan) dan conlict (pertikaian). Ketiga komponen ini akan saling berkaitan satu dengan lainnya (Mulyadi dalam Jurnal Humaniora Volume XIV, No. 3/2002).
Pada bagian lain menurut Prof.Bambang Widodo Umar (2010) terdapat beberapa cara dalam menangani konflik didalam masyarakat (conflict management style), yaitu :
1. Kompromi (compromiser) – berunding (negotiating), yaitu cara penyelesaian konflik di mana masing-masing pihak tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah (neither win-win nor lose-lose approach). Pihak yang terlibat saling memberik kelonggaran atau konsesi. Kedua pihak mendapatkan apa yang diinginkan tetapi tidak penuh, dan kehilangan tetapi tidak seluruhnya.
2. Penyesuaian (accomodating), perlunakan (smoothing), penurutan (obliging). Cara ini merupakan pendekatan kalah-menang (lose-win approach). Konflik diredam dengan cara mengakomodir berbagai macam kepentingan orang orang yang berkonflik, salah satu pihak yang terlibat melepaskan dan mengesampingkan hal yang diinginkan sehingga pihak yang lain mendapatkan sepenuhnya hal yang diinginkan.
3. Kerjasama (collaborating) atau menghadapi (confronting). Kedua pihak bekerjasama dan mencari jalan pemecahan yang memuaskan bagi keduanya. Cara ini merupakan pendekatan menang-menang (win-win approach). Dalam penyelesaian ini pihak yang berkonflik diajak ke meja perundingan untuk menyelesaikan sendiri apa yang diinginkan.
4. Avoidance (menghindari). Konflik dikendalikan dengan cara membatasi waktu atau membagi wilayah agar masing-masing kelompok tidak saling benturan satu sama lain dan agar bentrokan tidak semakin meluas (win-lose approach)
5. Dibuat bersaing (competiting), menguasai (dominating) atau memaksa (forcing). Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik yang berciri menang-kalah (win-lose approach). Cara ini dengan mengorbankan pribadi dan kepentingan pihak lain tetapi ada aturan permainannya, yakni dalam sistem kompetisi.

Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat beberapa model dalam penyelesaian konflik, yaitu : (1) Mediation, cara ini menggunakan pihak ketiga sebagai penengah. Mediator yang ditunjuk adl mereka yang telah disepakati bersama dan mampu bertindak dalam penyelesaian secara obyektif. Dari usahanya belum tentu hasilnya dipakai untuk merumuskan perdamaian; (2) Arbitration, cara ini berasal dari penyelesaian konflik dagang (menyelesaikan masalah di luar lembaga formal). Penyelesaian konflik cara ini tidak menekankan prosesnya tetapi menekankan hasilnya; (3) Family Conference , merupakan cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang dianggap tidak serius dan yang melibatkan dua keluarga atau lebih dalam suatu konflik. Partisipasi pihak pihak yang bertikai bersifat sukarela; (4) Alternative Dispute Resolution (ADR),cara ini dikenal dengan istilah musyawarah untuk mufakat. Merupakan alternatif penyelesaian konflik dengan menggunakan pihak ketiga yang berperan di sekitar mereka. Bisa dari tokoh masyarakat juga dari aparat. Cara ini tidak menjamin penyelesaian konflik secara tuntas; (5) Ombudsman ,dimana menurut sejarahnya lembaga ini merupakan lembaga yang profesional & independen. Anggotanya terdiri dari orang-orang yang punya reputasi baik, profesi yang khas dan bersifat netral. Penyelesaian konflik dengan cara ini berarti semua pihak menyerahkan sepenuhnya permasalahan untuk diselesaikan secara independen tanpa ada tekanan dari pihak pelapor atau terlapor; (6) Rekonsiliasi ,ini adalah cara penyelesaian konflik di mana pihak yang bersalah terlebih dulu menyampaikan permohonan maaf (to pardon) dan pihak lain memberikan maaf (forgive) dengan syarat bahwa mereka tidak melupakan masalah itu ( not forget) di kemudian hari; dan (7) Negosiasi yakni tawar menawar dari berbagai pihak yang berkepentingan, sehingga tercapai win win solution atau lose lose solution yang memuaskan kedua belah pihak. Kalaupun terjadi win lose solution, haruslah bersifat pareto op¬timum result (diharapkan kekalahan tersebut bersifat relatif).

Kronologis Kejadian
Kota Tarakan yang terkenal dengan nama “Bumi Paguntaka” memiliki karakteristik masyarakat yang majemuk, karena terdiri atas sejumlah suku bangsa dan etnis yang hidup saling berdampingan dalam suasana kebudayaan umum-lokal, namun tetap mempertahankan identitas sosial-budayanya. Penduduk asli Kota Tarakan itu sendiri adalah suku Tidung, yang wilayah aslinya berada di bagian utara Kaltim dan Sabah (Malaysia). Namun kemajemukan masyarakat di Kota Tarakan, menimbulkan dampak negatif, salah satunya konflik antar etnis yang berbeda pada tanggal 26 September 2010. Kerusuhan ini bermula dari kisruh dua orang. Tapi berlanjut menjadi konflik dua etnis dengan perang terbuka dan korban tewas jatuh dari kedua belah pihak. Persoalan bukan antar suku tapi sebagai individu. Konflik di Tarakan terjadi antara 2 kelompok warga. Akibat peristiwa itu seorang warga, Abdullah (50), tewas terkena tusukan senjata tajam. Sebanyak 9 warga lainnya diamankan Polres Tarakan. Peristiwa itu dipicu perselisihan antar 2 kelompok anak muda yang berujung bentrok ratusan orang warga dimana telah terjadi penyerangan ke pemukiman di Tidung kota Tarakan. Massa yang datang menyerbu masuk dari arah pantai, daerah Selumit lalu menyerbu ke pemukiman warga.
Di daerah Selumit dijaga ketat petugas Garnisun dan TNI Angkatan Laut. Kota Tarakan lumpuh total. Toko-toko, rumah, pusat perbelanjaan ditutup. Warga ketakutan karena bentrok kembali terjadi dan dikhawatirkan meluas. Ribuan pengungsi korban konflik etnis di Tarakan terus memadati markas TNI .Mereka tersebar antara lain di Markas Batalion Infanteri 163/Raja Alam, Markas TNI Angkatan Udara, dan Markas TNI Angkatan Laut. Selain juga di kantor-kantor Polri seperti Mapolsek, Mapolres, dan Kantor unit satuan lantas Polres Tarakan. Pada konflik tersebut, resolusi konflik terjadi setelah semua pihak terutama para Muspida dan tokoh masyarakat melakukan pertemuan. Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak beserta sejumlah pejabat pemerintahan, berhasil mendamaikan dua kelompok warga yang bertikai di Tarakan. Kesepakatan damai itu tercapai dalam suatu pertemuan yang dilaksanakan di ruangan rapat VIP Bandara Internasional Juwata. Dalam kesepakatan tersebut, Fokum Komunikasi Rumpun Tidung (FKRT) bertindak sebagai pihak pertama dan Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) sebagai pihak kedua, menyepakati sepuluh butir perdamaian. Dalam perundingan kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Yancong mewakili KKSS dan Sabirin Sanyong mewakili FKRT. Inti kesepakatan adalah kedua belah pihak mengakhiri segala bentuk pertikaian dan membangun kerjasama harmonis demi kelanjutan pembangunan Kota Tarakan. Kedua belah pihak memahami bahwa apa yang terjadi merupakan murni tindak pidana dan merupakan persoalan individu. Selanjutnya, disepakati pembubaran konsentrasi massa di semua tempat, sekaligus melarang dan atau mencegah penggunaan senjata tajam dan senjata lainnya di tempat-tempat umum. Selain itu, masyarakat yang berasal dari luar Kota Tarakan yang berniat membantu penyelesaian perselisihan agar segera kembali ke daerah masing-masing selambat-lambatnya 1 kali 24 jam. Sedangkan para pengungsi di semua lokasi akan dipulangkan ke rumah masing-masing, difasilitasi Pemkot Tarakan dan aparat keamanan. Apabila kesepakatan damai dilanggar, aparat akan mengambil tindakan tegas sesuai perundang-undangan. Usai penandatangan kesepakatan, seluruh pihak yang terlibat langsung melakukan sosialisasi ke kelompok yang bertikai .

Analisa Kasus
Jika dilakukan analisa yang mendalam mengenai resolusi konflik pada kasus kerusuhan Tarakan ini, maka kita akan melihat bagaimana wujud penyelesaian konflik yang dilakukan dengan cara kompromi dan perundingan. Sebagaimana kita ketahui, manajemen penyelesaian konflik dengan cara ini merupakan bentuk penyelesaian konflik di mana masing-masing pihak tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah (neither win-win nor lose-lose approach). Pihak yang terlibat saling memberik kelonggaran atau konsesi. Kedua pihak mendapatkan apa yang diinginkan tetapi tidak penuh, dan kehilangan tetapi tidak seluruhnya. Kesepakatan yang dicapai antara kedua pihak melalui point kesepahaman dalam butir-butir perundingan tersebut menunjukkan terjadinya kelonggaran dan konsesi dari para pihak yang berkonflik. Tidak ada pemenang antara pihak FKRT maupun KKSS.
Selanjutnya, apa yang dilakukan oleh pihak Muspida baik dari Gubernur Kalimantan Timur, Bupati dan Pemda setempat serta unsur Kepolisian dan TNI, dalam mempertemukan kedua belah pihak yang bertikai dapat kita simpulkan bahwa hal tersebut adalah model penyelesaian konflik dalam bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR). Model resolusi konflik ini merupakan cara dimana terdapat alternatif penyelesaian konflik dengan menggunakan pihak ketiga yang berperan di sekitar mereka. Bisa dari tokoh masyarakat juga dari aparat dan pada kasus perdamaian antara FKRT dan KKSS pihak ketiga adalah para Muspida. Penyelesaian dengan model ini memang tidak menjamin akan terjadinya penuntasan, karena benih-benih pertikaian sudah terlanjur pecah. Akan tetapi, model penyelesaian konflik dengan ADR ini merupakan wujud win-win solution yang paling baik dari diterapkan pada kasus kerusuhan Tarakan ini.

III. PENUTUP
Konflik sosial yang terjadi pada kasus Tarakan Kalimantan Timur ini merupakan satu dari sekian banyak contoh kasus kerusuhan yang menimbulkan banyak korban jiwa. Penyelesaian konflik Tarakan yang relatif cepat dan tepat ini merupakan wujud resolusi konflik yang positif. Kedua belah pihak yang bertikai dapat didamaikan dengan tanpa pertumpahan darah yang semakin membesar lagi. Model penyelesaian konflik dengan bentuk Alternative Dispute Resolution berjalan dengan sangat baik. Peranan pihak ketiga dalam mempertemukan kedua pihak yang bertikai dan membuat kesepakatan perdamaian dinilai sebagai sebuah langkah yang jitu. Sebagai sebuah bentuk gesekan sosial yang tidak mungkin dihindari, konflik hendaknya disikapi dengan positif, artinya berbagai perbedaan yang terjadi dan muncul dalam kehidupan bermasayarakat tidak perlu dijadikan ajang perpecahan namun justru sebaliknya merupakan tali erat dalam mempersatukan bangsa kita.

Daftar Isi

1. International Encyclopaedia of The Social Sciences Vol. 3, 2002.
2. Lamria,Maria.2008. Analisa Penyebab Terjadinya Konflik Horizontal Di Kalimantan Barat dalam Jurnal Konflik Kelompok.
3. Rusmin Tumanggor,dkk.2007.Dinamika Konflik Etnis dan Agama Di Lima Wilayah Konflik Di Indonesia.
4. Mulyadi,2002.Konflik Sosial Ditinjau Dari Segi Struktur dan Fungsi.
5. Jurnal Humaniora Volume XIV, No.3/2002 dalam http://jurnalhumaniora.ugm.ac.id/karyadetail.php?id=84
6. Konflik Tarakan,2010 dalam http://senjadbilly.blogspot.com/2010/10/konflik-tarakan.html