ANALISA HASIL PUTUSAN PENGADILAN PADA KASUS PEMBUNUHAN MARSINAH

I. LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN
Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya)—pabrik tempat kerja Marsinah resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Surat Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok. Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa. Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi berlangsung. Selanjutnya, Marsinah meminta waktu untuk berunding dengan pengurus PT. CPS. Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama. Namun, pertentangan antara kelompok buruh dengan pengusaha tersebut belum berakhir. Pada tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa dasar atau alasan yang jelas, pihak tentara mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama.
Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Marsinah marah saat mengetahui perlakuan tentara kepada kawan-kawannya. Selanjutnya, Marsinah mengancam pihak tentara bahwa Ia akan melaporkan perbuatan sewenang-wenang terhadap para buruh tersebut kepada Pamannya yang berprofesi sebagai Jaksa di Surabaya dengan membawa surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 9 Mei 1993. Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan.

II. FAKTA-FAKTA
A. Fakta Konkret
Dalam makalah ini, yang dimaksud dengan fakta konkret adalah fakta yang melatar belakangi putusan Pengadilan terhadap terdakwa Mtr sampai dengan dikeluarkannya Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung tanggal 29 April 1995 Regno.1147 K/Pid/1994.
a) Pada tanggal 3 Mei 1993, karyawan/wati harian pabrik PT. CPS Porong, termasuk Marsinah melakukan unjuk rasa dan mogok kerja. Mereka berkerumun di halaman pabrik. Ya, manager PT. CPS memerintahkan Mtr, kepala personalia, untuk meneliti dan mencatat siapa diantara para karyawan/wati yang menjadi dalang pemogokan/unjuk rasa.
b) Pada tanggal 4 Mei 1993, besoknya, kurang lebih pukul 07.00 s.d. pukul 10.00 WIB di tempat yang sama terjadi lagi aksi unjuk rasa yang dipelopori oleh karyawati Marsinah. Aksi unjuk rasa bertujuan menuntut perusahaan agar menaikan upah, tunjang¬an transportasi, uang makan, uang lembur, dan cuti hamil, serta jamsostek.
c) Karena ada unjuk rasa/pemogokan tersebut maka pimpinan perusahaan mengadakan rapat untuk bermusyawarah. Rapat tersebut dihadiri oleh Ys (manager), Mtr (Kabag personalia) mewakili PT. CPS, Marsinah mewakili karyawan/wati di dampingi oleh Ta, Sp, dkk, Muspika, DPC SPSI, dan wakil Depnaker. Musyawarah tersebut menghasilkan putusan bahwa semua tuntutan karyawan/wati dipenuhi oleh pihak perusahaan, kecuali jamsostek yang masih ditangguhkan. Akhirnya para karyawan/ wati menghentikan mogok/unjuk rasa dan bekerja kembali.
d) Pada tanggal 5 Mei 1993 sehari berikutnya, di pabrik PT. CPS diselenggarakan lagi rapat dipimpin oleh Ys, dihadiri Mtr, Bw, Sw, Ap, Spt, Wd, untuk membahas situasi unjuk rasa di PT. CPS disamping membahas surat ancaman yang ditulis oleh Marsinah yang ditujukan kepada pimpinan pabrik PT. CPS. Isi surat ancam¬an dimaksud .a.l: Jangan mencari-cari kesalahan para karyawan/wati, bilamana terus dilakukan, maka rahasia perusahaan akan dibongkar. Dalam rapat tersebut berkembang rasa tidak senang terhadap sikap dan tindakan Marsinah yang mempelopori pemogokan/unjuk rasa, maka timbul pemikiran untuk menyingkirkan Marsinah.
e) Beberapa hari kemudian Marsinah tidak tampak lagi di pabrik PT CPS. Beberapa hari sesudahnya masih dalam bulan Mei 1993, di dusun Jeging, Kecamatan Welangan, Kabupaten Nganjuk ditemu¬kan mayat seorang wanita, mayat tersebut, kemudian diketahui, wanita bernama Marsinah karyawati PT. CPS. Mayat Marsinah lalu diangkut ke RS dan diotopsi. Hasil otopsi menyatakan luka-luka pada pipi, siku, lengan, perut, luka-luka robek di bagian perut, tulang punggung bagian depan hancur, memar pada kandung kemih, usus, pendarahan pada rongga perut kurang lebih l liter. Kesimpulan meninggal akibat perdarahan pada rongga perut.

B. Fakta Hukum
Dalam perkara pembunuhan sebagaimana yang dimaksud dalam KUHAP serta hukum Formal yang berlaku di Indonesia, maka ada beberapa fakta Hukum yang harus diperhatikan terkait dengan kasus pembunuhan Marsinah dengan terdakwa Mtr, yaitu :
a) Sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP menyatakan bahwa dalam hal pemeriksaan, seorang tersangka/terdakwa dapat memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim.
b) Dalam kaitannya pemeriksaan dihadapan penyidik, maka seorang tersangka memiliki hak-hak yang dilindungi oleh Undang-undang seperti hak untuk tidak diperiksa dalam keadaan tertekan/disiksa dimana hal ini selaras dengan asas praduga tidak bersalah serta pasal 117 KUHAP, selanjutnya seorang tersangka berhak untuk didampingi oleh penasihat hukum seperti halnya dijelaskan pada pasal 54 UU Nomor 8 tahun 1982 tentang KUHAP.
c) Sebagaimana dimaksud pada pasal 185 ayat (1) menyatakan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi sampaikan dalam sidang pengadilan dan keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa seorang terdakwa bersalah atas dakwaan yang dipersangkakan kepadanya atau “satu saksi bukan saksi”.
d) Sebuah Berkas Acara Pemeriksaan setelah diserahkan dari pihak penyidik kepada pihak penuntut umum maka pihak penuntut umum segera mempelajari dan meneliti berkas tersebut untuk kemudian menentukan apakah berkas tersebut telah lengkap atau belum lengkap. Manakala berkas tersebut telah lengkap (P21) maka penuntut umum segera membuat surat dakwaan untuk kemudian memajukannya untuk disidangkan. Manakala berkas tersebut dinyatakan belum cukup/belum lengkap (P18) maka penuntut umum segera mengembalikan berkas tersebut kepada pihak penyidik beserta petunjuk yang harus dilengkapi penyidik (P19).
e) Dalam sebuah persidangan, Hakim Ketua Sidang dan Hakim Anggota dapat meminta segala keterangan kepada saksi dimuka persidangan yang dipandang perlu dan penting dalam mengungkap sebuah kebenaran dari suatu perkara pidana. Hal ini selaras dengan pasal 165 ayat (1) UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP sebagai bahan masukan kepada Hakim sehingga hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana benar-benar didasarkan kepada dua alat bukti yang sah serta hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya (Pasal 183 KUHAP).

III. ANALISA (PEMBAHASAN)
A. Penyidikan
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya. Delapan petinggi PT CPS (Ys, 45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut dan Porong; Ya, 33 tahun, pemimpin pabrik PT CPS Porong; Su, 48 tahun, kepala satpam pabrik PT CPS Porong; Spt, 22 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Bw, 37 tahun, karyawan PT CPS Porong; Wd, 43 tahun, karyawan dan sopir di PT CPS Porong; Ap, 57 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Kw, 37 tahun, kepala bagian produksi PT CPS Porong) ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mtr, 26 tahun, selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Pasal yang dipersangkakan Penyidik Polda Jatim terhadap para tersangka dalam Kasus Marsinah tersebut antara lain Pasal 340 KUHP, 255 KUHP, 333 KUHP, hingga 165 KUHP jo Pasal 56 KUHP.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Spt (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Ys di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Sw (satpam CPS) mengeksekusinya. Di pengadilan, Mtr divonis 7 bulan penjara, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Mtr dinyatakan bersalah dan divonis 6 bulan penjara. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni) Jaksa / Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.
Selanjutnya, dalam melakukan pemeriksaan penyidik dengan segala rekayasa yang dituangkan dalam Berkas Acara Perkara telah menunjukkan ketidak-profesionalannya yaitu dengan melakukan pemaksaan terhadap terdakwa guna mengejar sebuah pengakuan. Padahal dari fakta hukum yang tersedia dikatakan bahwa penyidik bukanlah mengejar pengakuan melainkan pembuktian sebagaimana dimaksud pada pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti. Pada saat melakukan pemeriksaan kepada seorang tersangka, maka penyidik harus tetap berpedoman pada asas praduga tidak bersalah, tugas penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP adalah guna membuat terang suatu perkara pidana dengan menunjukkan alat bukti yang cukup. Yang tidak kalah penting adalah apa yang disebut sebagai “Miranda Rule”, dimana seorang tersangka memiliki hak untuk mendapatkan bantuan hukum selama proses penyidikan berlangsung. Dalam hal pencabutan berkas, hal tersebut pun tidak perlu dikhawatirkan oleh pihak penyidik selama alat bukti yang dimiliki oleh penyidik adalah cukup dan diperoleh sesuai dengan ketentuan.

B. Dakwaan dan Penuntutan
Penuntut umum dalam dakwaannya merinci tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa sebagai berikut :
a) Dakwaan Primair
Bahwa terdakwa Mtr,pada hari Rabu tanggal 5 Mei 1993 sekitar pukul 16.30 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu hari di bulan Mei 1993 bertempat di Kantor PT.Catur Putra Surya Desa Siring Kecamatan Porong Sidoarjo sengaja memberi keterangan untuk melakukan kejahatan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain. Perbuatan tersebut ditujukan kepada korban atas nama Marsinah (20 tahun) yang dimana korban meninggal dunia akibat dari pendarahan dalam rongga perut sebagaimana hasil Visum et Repertum yang dibuat oleh RSU Nganjuk Nomor : 370/1245/44733/1993 tanggal 11 Mei 1993. Atas perbuatan tersebut terdakwa diancam pidana Pasal 340 KUHP jo Pasal 56 ke-2 KUHP.
b) Dakwaan Subsidair
Terdakwa Mtr pada waktu dan tempat sebagaimana dimaksud pada dakwaan primer , sengaja memberi keterangan untuk melakukan kejahatan penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih dahulu mengakibatkan mati, yang dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud pada dakwaan primer sesuai keterangan dalam Visum et Repertum juga sebagaimana dimaksud. Atas perbuatan tersebut terdakwa diancam pidana Pasal 335 ayat (2) KUHP jo Pasal 56 ke-2e KUHP.
c) Dakwaan Lebih Subsidair
Bahwa terdakwa Mtr pada waktu dan tempat sebagaimana dimaksud dalam dakwaan primair sengaja memberi keterangan untuk melakukan kejahatan merampas kemerdekaan seseorang yakni mengakibatkan mati dilakukan dengan cara terdakwa telah memberi keterangan bahwa dia tidak suka dengan Marsinah karena Marsinah telah menyampaikan surat ancaman kepada perusahaan sehingga telah timbul kesepakatan untuk merampas kemerdekaan Marsinah dengan cara menyekap Marsinah hingga Marsinah mati dan mayatnya dibuang disebuah gubuk di Dusun Jegong, Desa Welangan Kecamatan Welangan Wilayah Nganjuk. Atas perbuatan terdakwa diancam pidana Pasal 333 ayat (3) KUHP jo Pasal 56 ke-2 KUHP.
d) Dakwaan Lebih Subsidair lagi
Bahwa terdakwa Mtr,pada waktu dan tempat kejadian sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Primair telah mengetahui niat untuk melakukan kejahatan membunuh dengan rencana atau untuk menculik sedangkan masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu, yakni terdakwa telah mengetahui sewaktu dalam rapat bersama di kantor PT.CPS. Pada rapat tersebut telah disepakati untuk menculik dan membunuh Marsinah sehingga penculikan dan pembunuhan Marsinah benar-benar terjadi padahal masih ada waktu bagi terdakwa untuk melaporkan kejadian atau rencana tersebut kepada pihak Kepolisian atau kepada Marsinah namun hal tersebut tidak dilakukannya. Atas perbuatan tersebut terdakwa diancam Pasal 165 ayat (1) KUHP.

Pada dakwaan yang disampaikan oleh pihak penuntut umum ini terdapat beberapa kejanggalan, dimana dakwaan primair sebagaimana yang disebutkan diatas adalah kepada terdakwa Ys terlebih dahulu (diduga sebagai pelaku utama), seharusnya penuntut umum dapat memberikan dakwaan primair sebagiamana dimaksud setelah ada keputusan pengadilan mengenai persidangan terdakwa Ys. Sedangkan dalam hal ini, persidangan atas terdakwa Mtr telah dilaksanakan terlebih dahulu daripada persidangan terdakwa Ys yang notabenenya diduga sebagai otak pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Berkas Acara Perkara.
Selain itu, sebagaimana kejanggalan yang dijumpai pada dakwaan terhadap Mtr ini akan diuraikan pada 3 point besar sebagai berikut :
• Sebenarnya kepada Jaksa Penuntut Umum Ialah diberi petunjuk agar tidak mendakwakan pasal 340 KUHP jo 58 KUHP karena perbuatanperbuatan Ny. Mutiari atas pembunuhan berencana terhadap MARSINAH tidak secara nyata nampak dalam kasus Ini demikian juga halnya dengan dakwaan subsidair dan lebih Subsidair. Dengan atasan bahwa tolah dilakukan pendekatan dengan Majelis Hakim, Ketua Pengadilan Negeri bahkan telah mendapat persetujuan Ketua Pengadilan Tinggi, rencana dakwaan tersebut tetap dipertahankan.
• Pada waktu regulator Jaksa hanya menuntut hukuman 22 bulan penjara dengan alasan ada pasien dari Majelis Hakim agar jangan menuntut tinggi tinggi.
• Penerapan pasal 56 jo pasal 340 KUHP sebenarnya hanya untuk menjustifikasi penahanan terhadap terdakwa oleh Penyidik (dalam kasus ini Panyidik di Praperadilan)

C. Pembelaan
Dalam hal pembelaan yang dilakukan oleh terdakwa Mtr oleh penasehat hukum terdakwa diantaranya adalah :
a) Perkara terdakwa tidak dapat dipertimbangkan secara sendiri tetapi harus ditinjau secara bersama. Dalam perkara tersebut turut terdakwa lainnya dalam perkara yang sama. Sementara dalam pemeriksaan ternyata perbuatan yang didakwaankan kepada terdakwa-terdakwa dan turut terdakwa didakwa oleh penuntut umum dilakukan sendiri-sendiri.
b) Para terdakwa serta para turut terdakwa dalam perkara sendiri sebagai terdakwa dan dalam perkara turut terdakwa sebagai saksi (kecuali dalam perkara ini) secara konsisten, mencabut keterangannya dalam BAP dengan alasan keterangan tersebut tidak benar karena diberikan dalam keadaan tertekan fisik dan atau psikis.
c) Para saksi (Ys,Bw,Ap,Wd,Spt dan Sw) dalam perkara sendiri (masing-masing) sebagai terdakwa secara eksplisit mencabut keterangannya yang diberikan sebagai saksi dalam perkara ini.
d) Judex Factie telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian, karena para saksi yang dimintai keterangan adalah para terdakwa dalam perkara dengan dakwaan yang sama.
Atas beberapa point keberatan yang disampaikan oleh pihak kuasa hukum terdakwa Mtr sebagai bentuk pembelaan terhadap terdakwa Mtr, maka selayaknya kita berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta asas-asas dalam hukum formal di Indonesia. Dalam hal ini terutama mengenai hak-hak daripada tersangka/terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Miranda Rule.
Miranda Rule adalah merupakan hak-hak konstitusional dari tersangka / terdakwa yang meliputi hak untuk tidak menjawab atas pertanyaan pejabat bersangkutan dalam proses peradilan pidana dan hak untuk didampingi atau dihadirkan Penasihat Hukum sejak dari proses penyidikan sampai dan/atau dalam semua tingkat proses peradilan. Secara umum prinsip Miranda Rule (miranda principle) yang terdapat dalam KUHAP yang menyangkut hak-hak tersangka atau terdakwa ada di dalam BAB VI UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, sedang secara khusus prinsip miranda rule atau miranda principle terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sbb : “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka”
Perlu diketahui bahwa yang ingin dicapai dan/atau ditegakkan di dalam prinsip Miranda Rule yang terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) tentang KUHAP adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair dan manusiawi terhadap diri Tersangka / Terdakwa, sebab dengan hadirnya Penasihat Hukum untuk mendampingi , membela hak-hak hukum bagi tersangka atau terdakwa sejak dari proses penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan dimaksudkan dapat berperan melakukan kontrol, sehingga proses pemeriksaan terhindar dari penyiksaan, pemaksaan dan kekejaman yang dilakukan penegak hukum dalam proses peradilan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM atau Hak Asasi Manusia ( vide : pasal 33, pasal 3 ayat (2), pasal 5 ayat (2), pasal 17, pasal 18 ayat (1) dari UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ] di samping itu adanya kontrol oleh Penasihat Hukum terhadap jalannya pemeriksaan tersangka selama dalam proses persidangan di pengadilan.

D. Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengadilan
Secara teoritis dapat dijelaskan 4 (empat) teori sistem pembuktian yaitu :
a) Conviction-in Time
Sistem pembuktian Conviction-in Time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim.. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan dan pengakuan terdakwa. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
b) Conviction-Raisonee
Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian conviction-in Time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem convection-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasar alasan yang dapat diterima.
c) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif
Pembuktian ini merupakan kontroversi dari sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction-in time. Dalam pembuktian ini peran hakim tidak ikut berperan menentukan salah tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada pembuktian menurut undang-undang. Untuk membuktikan salah tidaknya seorang terdakwa maka harus berdasarkan alat-alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah itulah yang terdapat dalam undang-undang. Dengan kata lain bahwa tanpa alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang maka hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap kesalahan terdakwa. Sebaliknya ialah jika bukti-bukti yang sah berdasarkan undang-undang telah dipenuhi maka hakim dapat menentukan kesalahan terdakwa.
d) Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian keyakinan hakim atau Conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan menurut undang-undang secara negatif “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari penggabungan kedua sistem tersebut terwujudlah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif.
Alat-alat bukti (Bewijsmiddelen) diartikan sebagai alat yang dipakai untuk membantu hakim dalam menggambarkan kembali mengenai kepastian pernah terjadinya peristiwa pidana.Sedangkan dasar pembuktian (bewijskracht) dimaknai sebagai isi dari alat bukti.Di Indonesia sendiri, beban pembuktian (bewijsgrond) atau kewajiban mengenai siapa yang wajib untuk membuktikan diserahkan kepada pihak yang mendakwa/Jaksa Penuntut Umum (Pasal 66 KUHAP).Materi dari dakwaan jaksa didapat melalui proses penyidikan yang dituangkan dalam sebuah Berita Acara Pemeriksaan oleh seorang penyidik. Kegiatan ini merupakan lingkaran mekanisme Criminal Justice System yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia termasuk mengenai beracara dalam pidana (UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP).

Atas apa yang terjadi pada putusan pengadilan Negeri dan putusan Pengadilan Tinggi pada persidangan dengan terdakwa Mtr terdapat sedemikian banyak asas pembuktian yang telah dilewatkan oleh Hakim bahkan cenderung untuk menselaraskan jalan cerita persidangan dengan dakwaan dari penuntut umum. Setidaknya hal ini terlihat dari hasil putusan Mahkamah Agung terhadap terdakwa Mtr pada kasus yang sama dimana hakim pada Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang jauh berbeda dengan apa yang diputuskan oleh hakim pada Pengadilan Negeri maupun oleh Hakim pada Pengadilan Tinggi pada kasus ini terhadap terdakwa Mtr.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Melalui beragam analisa pada kasus pembunuhan Marsinah dengan terdakwa Mtr, penulis mencoba menarik beberapa point kesimpulan yang juga sekaligus sebagai wujud atau titik kelemahan atau mungkin juga kegagalan dalam sebuah skenario/rekayasa kasus dalam suatu bingkai konspirasi yang telah terjadi dalam penanganan kasus pembunuhan Marsinah pada Mei 1993, yaitu :
a) Kelemahan Penyidikan
1) Masih adanya pemaksaan dalam penyidikan baik fisik maupun non fisik untuk mengejar pengakuan, sehingga tersangka mencabut keterangannya dengan alasan keterangan yang dia berikan tersebut tidak benar karena pada saat pemeriksaan berada dalam tekanan fisik / psikis.
2) Kurangnya pemahaman penyidik dalam melakukan penyidikan sehingga asas-asas dalam penyidikan tersebut dilanggar (dua asas: praduga tak bersalah & pemberitahuan untuk didampingi penasehat hukum).
3) Tidak melakukan penyidikan secara cermat guna mengidentifikasi peran terdakwa, apakah sebagai pelaku, menyuruh melakukan, membantu melakukan, atau hanya sebagai saksi (pasal 55-56 KUHP).
4) Tidak berupaya mendapatkan alat bukti yang kuat didahului pemeriksaan yang cermat. Dalam hal ini penyidik menggunakan keterangaan saksi yang saksi tersebut juga merupakan tersangka. Sehingga saksi-saksi tersebut mencabut keterangannya dalam sidang pengadilan.
5) Tidak mengusahakan penyusunan resume yang baik dan pemberkasan. Kecenderungan penyidik melakukan pemisahan KUHP berkas perkara (Splitzing) bagi masing masing tersangka, atau saksi-saksi, mereka-reka yang menjadi tersangka pada berkas perkara lain yang di kenal dengan saksi mahkota.

b) Kelemahan Penuntutan
1) Menerima berkas tanpa meneliti berkas tersebut dan tidak mempelajari dengan cermat sehingga tidak mengetahui kekurangannya.
2) Kurang cermat dalam menyusun surat dakwaan.

c) Kelemahan Peradilan
1) Tidak mengindahkan penasehat hukum terdakwa guna dimintai keterangan ulang, yang mana sehubungan dengan saksi-saksi telah mencabut keterangannya dalam BAP yang diberikan dalam keadaan terpaksa dan tertekan secara fisik maupun psikis.
2) Tidak menggali secara mendalam alasan-alasan mengapa para saksi mencabut keterangan dalam BAP. Penggalian secara mendalam dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan – pertanyaan termasuk mempertanyakan mengapa saksi tidak memanfaatkan prosedur yang ada (minta didampingi penasehat hukum, menolak penandatanganan BAP, praperadilan, melaporkan ketidakberesan petugas kepada atasannya).