KENAKALAN REMAJA DALAM BENTUK PENYALAHGUNAAN NARKOBA DI WILAYAH HUKUM POLTABES PALEMBANG (Suatu Perspektif Control Social, Labeling dan Re-Integrative Shaming Theory)

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Permasalahan
Dalam dua dasawarsa terakhir ini, penggunaan dan peredaran narkoba secara ilegal di seluruh dunia menunjukkan peningkatan tajam, merambahi semua bangsa dan semua umat agama serta meminta banyak korban. Penyalahgunaan narkoba juga berkaitan erat dengan tindak kejahatan, kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan kerja, putus sekolah, putus kerja, hancurnya masa depan dan pada akhir-akhir ini sampai pada tingkat penularan HIV/AIDS .
Di Indonesia sampai saat ini kejahatan dan penyalahgunaan Narkoba masih mengancam remaja meskipun Indonesia sudah berkomitmen bebas narkoba dan HIV AIDS pada 2015. Ancaman tersebut terlihat dari trend jumlah pengguna narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa yang meningkat. Hal ini sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Badan Narkotika Nasional bekerja sama dengan Universitas Indonesia tahun 2008 menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah pengguna narkoba sebesar 22,7%. Dari sejumlah 1,1 juta di tahun 2006 menjadi 1,35 juta di tahun 2008. Hal ini telah membuktikan telah terjadi stagnansi upaya penurunan pengguna narkoba di Indonesia.Diakuinya memang sangat sulit untuk melakukan pencegahan penggunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa. Karena peredaran narkoba juga semakin gencar dibarengi perkembangan teknologi produksi narkoba di Indonesia. Hal ini sebagimana data BNN 2008 menyebutkan bahwa ada 3,6 juta penyalahguna narkoba di Indonesia. Dimana 41% diantara mereka pertama kali mencoba narkoba di usia 16-18 tahun.
Terjadinya penyalahgunaan narkoba sebagian besar dimulai sejak usia remaja, karena remaja paling mudah dipengaruhi oleh teman sebayanya termasuk dalam penggunaan narkoba. Para remaja melihat hal tersebut sebagai trend bagi remaja. Sementara upaya pencegahan yang dilakukan orang tua dengan menasehati cenderung tidak didengarkan oleh kalangan remaja. Di samping itu, peningkatan jumlah pengguna narkoba di kalangan remaja juga dipengaruhi oleh lingkungan. Meskipun paling banyak pengguna narkoba mulai mencoba sejak remaja tak dipungkiri penggunaan di kalangan orang dewasa juga meningkat. Dari tahun 2006 yang berjumlah 2,1 juta menjadi 2,25 juta di tahun 2008.
Sedangkan penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja dan mahasiswa di Sumatera Selatan (Sumsel) menempati urutan ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Sumatera Utara. Hal itu diungkapkan Penyuluh Madya Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional (BNN) Yudi Kusmayadi dalam diskusi narkoba dan judi yang diselenggarakan Jaringan Jurnalis Televisi di Palembang, Sumsel. Peringkat tersebut diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan BNN bersama Universitas Indonesia pada tahun 2008. Penelitian tersebut menunjukkan dari jumlah total pengguna Sumsel menduduki peringkat sepuluh besar, namun khusus pengguna di kalangan remaja dan mahasiswa Sumsel urutan ketiga. Indikator tingginya pemakaian narkoba di kalangan remaja dan mahasiswa terlihat dari angka prevalensi. Angka prevalensi yang mencapai 5,6 persen berarti dari 100 remaja dan mahasiswa terdapat lima sampai enam orang yang menggunakan narkoba.
Penyalahgunaan narkoba yang dilakukan remaja di wilayah Palembang Sumsel merupakan penggunaan narkoba diluar keperluan medis, tanpa pengawasan dokter, dan merupakan perbuatan melanggar hukum ( Pasal 59 UU Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika; Pasal 84, 85, 86 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika) . Kemudian penyalahgunaan narkoba yang dilakukan remaja di wilayah Palembang Sumsel tersebut meliputi : taraf coba-coba, taraf hiburan, taraf penggunaan secara teratur, dan taraf ketergantungan. Memasuki taraf coba-coba pun langsung bisa terseret dalam taraf ketergantungan, karena sifat narkoba yang mempunyai daya menimbulkan ketergantungan yang tinggi. Pada usia remaja, penyalahgunaan narkoba yang paling banyak terjadi adalah konsumsi minuman beralkohol dan ganja serta zat hirup, baru disusul oleh tingkat yang lebih serius yakni konsumsi shabu-shabu, putaw, kokain, heroin, ekstasi dll .
Kenakalan remaja yang dilatarbelakangi oleh penyalahgunaan narkoba dapat berakibat pada gangguan perilaku dan perbuatan antisosial lainnya (yang dikategorikan sebagai kenakalan remaja pula) seperti berbohong, membolos, minggat, malas, sex bebas, mencuri, melanggar aturan dan disiplin, merusak, melawan orang tua, suka mengancam dan berkelahi sehingga mengganggu ketertiban dan ketentraman masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam makalah ini penulis mencoba mengangkat kasus penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh remaja, yang dikaji dengan menggunakan beberapa Social Control Theory, Labeling Theory dan Re-Integrative Shaming Theory.

2. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah “Bagaimana penyalahgunaan narkoba oleh remaja dan upaya penanggulangannya dalam perspektif Social Control Theory, Labeling Theory dan Reintegrative Shaming Theory?. Berdasarkan permasalahan ini, kemudian penulis dapat mengidentifikasikan kedalam pokok-pokok persoalan yang akan di bahas yaitu:
a) Bagaimana kasus penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh kalangan remaja di wilayah Palembang Sumsel?
b) Bagaimana analisis Social Control Theory terhadap penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh remaja?

c) Bagaimana analisis Labeling Theory terhadap penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh remaja?
d) Bagaimana analisis Re-Integrative Shaming Theory terhadap penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh remaja?

BAB II
LANDASAN TEORITIS

1. Teori Social Control Theory
Social Control Theory lahir pada peradaban dua puluhan, e.A.ros salah seorang Bapak sosialog amirika berpendapat bahwa system keyakinan lah yang membimbing apa yang dilakukan oleh orang-orang dan yang secara universal mengontrol tingkah laku, tidak peduli apapun bentuk keyakinan yang dipilih. Salah satu Social Control Theory sebagaimana disebutkan oleh Travis Hirschi dalam “Social Bond Theory”, sebagai berikut:
a. Attachment, adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain. Kaitan attachment dengan penyimpangan adalah sejauh mana orang tersebut peka terhadap pikuran , perasaan dan kehendak orang lain sehingga ia dapat dengan bebas melakukan penyimpangan. Attachment dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
1) Attachment total, adalah keadaan dimana seorang individu melepas rasa yang terdapat dalam dirinya dan diganti dengan rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan inilah yang mendorong seseorang utk selalu mentaati aturan aturan, karena pelanggaran terhadap aturan tersebut berarti menyakiti perasaan orang lain.
2) Attachment partial, adalah suatu bubungan antara seorang individu dengan lainnya, dimana hubungan tersebut tidak didasarkan pada peleburan ego dengan ego yang lain tetapi karena hadirnya orang lain yang mengawasi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa attachment total akan mencegah hasrat seseorang untuk melakukan deviasi. Sedangkan attachment partial hanya akan menimbulkan kepatuhan bila terdapat orang lain yang mengawasi , karena apabila tdk terdapat pengawasan makan orang tersebut akan melakukan deviasi.

b. Commitment, adalah keterikatan seseorang pada sub system konvensional seperti sekolah , pekerjaan, organisasi dsb. Commitment merupakan aspek rasional yang ada dalam ikatan social. Segala kegiatan individu seperti sekolah ,pekerjaan , kegiatan dalam organisasi akan mendatangkan manfaat bagi orang tersebut. Manfaat tersebut dapat berupa bara benda , reputasi, masa depan dsb. “Segala investasi tersebutlah yang mendorong orang untuk taat pada aturan-aturan yang berlaku, dengan demikian investasi tersebut dapat digunakan sebagai rem bagi hasrat utk melakukan deviasi (penyimpangan).
c. Involvement, adalah merupakan aktivitas seseorang dalam sub system konvensional, jika seseorang aktif dalam organisasi maka kecil kecenderungannya untuk melakukan deviasi. Logika dari pengertian tersebut adalah bila orang aktif di segala kegiatan maka orang tersebut akan menghabiskan waktu dan tenaganya dalm kegiatan tersebut sehingga dia tidak sempat lagi memikirkan hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Dengan demikian segala aktivitas yang dapat memberi manfaat, akan mencegah seseorang itu untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
d. Beliefs, merupakan aspek moral yang terdapat dalam ikatan social, beliefs merupakan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan seseorang terhadap norma-norma yang ada akan menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut yang tentunya dengan kepatuhan tersebut akan mengurangi hasrat seseorang untuk melanggar.
Keempat komponen tersebut menurut Hirschi harus terbentuk dalam masyarakat, apabila hal itu gagal maka para remaja akan menggunakan haknya untuk melanggar.

2. Labeling Theory
Teori Labelling/Labelling Theory menurut Lemert yang berasumsi dari teori ini adalah jika seseorang mendefinisikan suatu situasi adalah nyata ( Real ) maka nyata pulalah konsekuensinya. FM Lemert membedakan 2 ( dua ) bentuk penyimpangan, yaitu ;
a) Primary Deviance, merupakan bentuk pelanggaran pertama kali, cenderung coba-coba, tidak sengaja, tidak serius, perilaku kanak-kanak, perilaku coba-coba.
b) Secondary Deviance, merupakan pelanggaran lanjutan muncul konsep diri, cenderung reaktif, memiliki motivasi, wujud eksistensi, self fullfilling phropecy.
Teori labelling pada dasarnya menekankan 2 (aspek), yaitu ;
a) Mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi cap atau label.
b) Pengaruh/efek dari label sebagai suatu konsekuensi penyimpangan tingkah laku.
Teori Labeling memandang bahwa kejahatan merupakan akibat dari proses sosial yang terjadi di dalam masyarakat, dimana perilaku jahat dibentuk oleh warganya yang memiliki “kekuasaan”, atau sebagai cap yang diberikan oleh kelompok dominant. Teori ini utk menganalisis pemberian label /cap/stigma terhadap pecandu narkoba di kalangan remaja.
Adapun 5 (lima) premis Labeling Theory sebagai berikut:
a) Perilaku menyimpang bukanlah perilaku unik yang timbul dari dalam diri seseorang atau lembaga tetapi reaksi yang ditimbulkan oleh masyarakat.
b) Reaksi masyarakat tersebut menyebabkan seseorang/ lembaga dicap sebagai penjahat.
c) Orang/ lenbaga yang dicap sebagai pelaku menyimpang diperlakukan benar-benar sebagai penjahat.
d) Kesemuanya berlangsung dalam suatu proses interaksi shg disebut juga interaksionis teori.
e) Terjadi proses adaptasi yang disebut self full filling yaitu seseorang/ lembaga yang dicap sebagai pelaku kejahatan karena perlakuan yang counter produktif yang bersangkutan menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya.

3. Re-Integrative Shaming Theory
Braithwaite (Barlow) menjelaskan bahwa pemberian rasa, malu (shaming) adalah semua proses-proses sosial yang menunjukan ketidaksetujuan yang bertujuan agar orang yang melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum merasa menyesal dan malu. Penghukuman semacam inl -yang biasanya dilakukan oleh anggota masyarakat- membuat orang menjadl waspada akan adanya shaming. Braithwaite (1996: 2) meyakini bahwa pemberian rasa malu sebagai suatu bentuk hukuman kepada pelaku ini, memiliki dua kemungkinan: Reintegrative Shaming atau stigmatisasi (stigmatization).
Reintegrative Shaming (Braithwaite, 1989: 84-97) adalah proses mempermalukan yang diikuti dengan upaya-upaya mengintegrasikan kembali pelaku penyimpangan atau pelanggaran hukum ke dalam masyarakat yang patuh hukum.
Karakteristik Reintegrative Shaming menurut Braithwaite (1996;2) adalah jika masyarakat:
a) Menolak atau mencela tingkah laku jahat, memujl atau mendukung tingkah laku baik.
b) Memiliki formalitas yang menyatakan tingkah laku seseorang jahat atau menyimpang, yang diakhiri dengan menyatakan orang tersebut sudah dlmaafkan.
c) Memberikan hukuman atau pencelaan tanpa proses labelling.
d) Tidak menjadikan kesalahan atau penyimpangan atau kejahatan sebagai dari status utama (master status trait).

4. Konsep Kenakalan Remaja
Dalam pasal 1 UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak, disebutkan bahwa yang dimaksud anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin (ayat 1). Sedangkan pengertian anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (ayat 2).
Dari pengertian tersebut, bentuk kenakalan remaja dapat bermacam-macam. Misalnya berupa kejahatan kekerasan oleh anak seperti pembunuhan dan penganiayaan, pencurian baik pencurian berat maupun pencurian ringan oleh anak, penyalah gunaan narkotika oleh anak, kejahatan seksual oleh anak, pemerasan, penggelapan, penipuan, dan bentuk-bentuk kejahatan lain yang dilakukan oleh anak. Atau dapat pula berupa perbuatan melanggar hukum lainnya seperti perkelahian pelajar atau tawuran, kebut-kebutan, dan lain-lain.
Kenakalan remaja tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor, yang dapat ditinjau dengan menggunakan berbagai macam sudut pandang, seperti sudut pandang psikologis maupun sudut pandang kriminologis.
Dalam sudut pandang kriminologis, kenakalan remaja dapat dikaji dengan menggunakan berbagai macam teori-teori kriminologis yang dikemukakan oleh para ahli kriminologi.
Kajian dan analisa terhadap berbagai bentuk kenakalan remaja tersebut bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kenakalan remaja, dengan tujuan untuk memberikan pandangan dan pemikiran tentang upaya yang tepat serta memberi perhatian khusus untuk menangani permasalahan kenakalan remaja yang telah menjadi suatu fenomena dalam kehidupan masyarakat.

BAB III
PEMBAHASAN

1. Kasus Penyalahgunaan Narkoba oleh Remaja di Wilayah Hukum Poltabes Palembang
Berdasarkan keterangan Kapolda Sumsel bahwa tingginya jumlah remaja dan mahasiswa yang menggunakan narkoba justru karena aparat kepolisian di Sumsel aktif melakukan penangkapan. Akibat banyaknya tersangka narkoba yang ditangkap menyebabkan jumlah pemakai narkoba di Sumsel tinggi. Setiap dilakukan penangkapan selalu dilaporkan. Semakin intensif penangkapan, semakin berdampak pada tingginya angka pemakai narkoba. Berdasarkan hal ini maka penulis mencoba mengangkat kasus penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh remaja dengan contoh kasus diambil dari wilayah hukum Poltabes Palembang. Adapun kasus kenakalan remaja tergambar dari adanya puluhan remaja digelandang ke kantor polisi, karena diduga terlibat peredaran narkoba. Diantara remaja yang ditangkap, sebagian diduga juga berprofesi sebagai penjaja seks. Puluhan remaja tanggung ini, diciduk aparat kepolisian Polsekta Gandus Palembang. Mereka dijaring Operasi Sapugajah. Seperti dilaporkan sejumlah warga, mereka terlibat peredaran narkoba dan senjata tajam. Penangkapan dilakukan petugas di sebuah kawasan Gandus, yang disinyalir sering dijadikan mereka sebagai sarang transaksi narkoba. Selain remaja pria, turut dijaring pula sejumlah remaja wanita yang masih ABG. Mereka diduga bekerja sebagai penjaja seks komersil.
Setelah dilakukan pemeriksaan, mereka tidak memiliki kartu identitas yang jelas. Untuk itu, langsung diamankan ke Mapolsekta Gandus Palembang. Saat ditangkap, kebanyakan mereka sedang dalam kondisi mabuk minuman keras dan ekstasi. Sementara remaja wanita mayoritas para gadis dibawah umur, akan diamankan dan orang tuanya akan dipanggil. Kapolsekta Gandus yang memimpin langsung operasi menegaskan, akan terus meningkatkan penertiban terhadap para remaja tersebut, mengingat bahaya narkoba dan prostitusi dibawah umur, sangat rentan dikalangan generasi muda di wilayah hukum Poltabes Palembang.
Kemudian kasus narkoba juga yang terjadi pada tanggal 07 Maret 2009, sekira jam 14.30 WIB di komplek pertokoan “mataram” jalan KH.Azhari petugas dari Poltabes Palembang berdasarkan dari hasil penyelidikan dan informasi dari masyarakat telah melakukan penangkapan terhadap pengedar narkoba. Pelaku tindak pidana tersebut adalah dua orang anak pelajar SMA kelas II, yang salah satunya tertangkap, bernama Frans Winarso, lahir di Palembang 14 maret 1989 (17 tahun), Pelajar SMA, alamat jalan yudistira 3A Palembang
Tersangka tertangkap saat mengambil kiriman paket berisi putauw sebanyak 25 gram yang disembunyikan dalam bungkusan mie instant, dari hasil pemeriksaan, diperoleh keterangan bahwa Frans adalah putra seorang pengusaha, dan hidup berkecukupan. Orang tuanya tidak pernah mengetahui akan perilakunya sebagai pengguna maupun pengedar obat-obat terlarang, karena ayah dan ibunya berpisah namun belum bercerai.
Frans menggunakan obat-obat terlarang karena ia merasa frustasi dan ingin lari dari kenyataan hidup bahwa dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuannya secara utuh seperti anak-anak yang lain. lainnya, yang biasa dipakai oleh anak seusianya. Frans mulai mengenal narkoba semenjak bergaul dengan temannya yang bernama Anto. Ia belajar dari Anto tentang bagaimana caranya menggunakan obat-obatan terlaang tersebut sampai bagaimana cara memperolehnya.
Mereka melakukan pada awalnya hanya sekedar mencoba namun karena efek yang ditimbulkan adalah kecanduan dan rasa sakit maka mereka secara periodik untuk membeli sebagai kebutuhan bahkan berlanjut bukan hanya sekedar membeli namun juga untuk memperoleh keuntungan dengan cara mengedarkan/menjual. Setiap hari kamis selalu menerima kiriman karena biasanya hari jumat sampai hari minggu laku keras.
Dari hasil mengedarkan obat-obat terlarang tersebut, mereka memperoleh uang, yang cukup besar. Biasanya uang tersebut mereka gunakan untuk membeli kembali obat-obatan terlarang tersebut untuk dijual kembali maupun untuk kebutuhan mereka sendiri. Mereka melakukan hal tersebut karena awalnya hanya untuk melupakan masalah yang mereka hadapi namun akhirnya menimbulkan kecanduan dan merupakan bentuk protes terhadap lingkungan keluarganya maupun masyarakat. Bahkan sebagai akibat dari kecanduan tersebut mereka menghalalkan segala cara untuk memperoleh obat-obat terlarang tersebut.

2. Analisis Social Control Theory
Analisa penulis terhadap kasus penyalahgunaan narkoba, maka penulis mencoba mencari hubungan korelasional antara gejala kejahatan pada umumnya dan khususnya pada perilaku kenakalan remaja (Juvenile delinquency) dengan kondisi sosiokultural lingkungan di dalam lingkup pandangan kriminolgis, biasanya dikategorikan dalam kajian atau analisa sosiologi kriminologis. Dari berbagai pendekatan kajian dan analisa sosiologi kriminal tersebut, dikenal berbagai macam teori dari beberapa ahli kriminologi.
Pada kenyataannya Narkoba tidak ada hubungannya dengan prestasi, gengsi, kemajuan zaman apalagi modernisasi. Narkoba (narkotika dan obat-obat berbahaya), NAZA (narkotika dan Zat Adiktif) atau ada yang menyebut NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) adalah produk jahiliah yang dibuat oleh manusia yang kehilangan sifat kemanusiaannya. Karena itu, sangatlah hina remaja yang merasa modern dengan narkoba. Ada banyak alasan mengapa remaja itu terlibat dengan narkoba, karena penyalahgunaan narkoba terjadi akibat interaksi, setidaknya ada tiga faktor: individu, lingkungan dan ketersediaan narkoba. Beberapa orang memang mempunyai resiko lebih besar untuk menggunakan narkoba karena sifat dan latar belakangnya, yang disebut faktor resiko tinggi dan faktor kontributif. Keduanya dapat dibagi menjadi faktor individu dan faktor lingkungan.
Seberapa faktor resiko tinggi pada individu antara lain: sifat cenderung memberontak dan menolak otoritas, ssifat tidak mau mengikuti aturan/norma/tata tertib yang berlaku, sifat positif terhadap pengguna narkoba, tidak memiliki tempat tinggal, kurang percaya diri, kehamilan pada usia remaja, senang mencari sensasi, kurangnya kemampuan mengendalikan diri, kurangnya kemampuan berkomunikasi, identitas dirikurang berkembang, putus sekolah, depresi, cemas, kesepian, keinginan kuat untuk hidup bebas, serta keyakinan bahwa menggunakan narkoba adalah lambang keperkasaan dan hidup modern.
Sementara itu, beberapa faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi penyalhgunaan narkoba antara lain; Komunikasi anak dan orang tua yang kurang efektif, hubungan orang tua yang kurang harmonis, orang tua terlalu sibuk, orang tua terlalu otoriter atau sebaliknya terlalu permisif, kurangnya pengawasan orang tua, lingkungan keluarga atau masyarakat dengan norma yang longgar, berkawan dengan pengguna narkoba, tenanan atau ancaman oleh kawan atau pengedar, pengaruh pacar, disiplin sekolah yang rendah, kurangnya fasilitas sekolah untuk mengembangkan minat dan bakat, iklan minuman alkohol dan rokok, lemahnya penegakan hukum, serta mudahnya memperoleh narkoba dipasaran.
Anak usia remaja memang paling rawan terhadap penyalahgunaan narkoba. Karena masa remaja adalah masa pencarian identitas diri. Ia berusaha menyerap sebanyak mungkin nilai-nilai baru dari luar yang dianggap dapat memperkuat jati dirinya. Ia selalu ingin tahu dan ingin mencoba, apalagi terhadap hal-hal yang mengandung bahaya dan resiko.
Umumnya, remaja mulai menggunakan narkoba karena ditawarkan kepadanya dengan berbagai janji, atau terdorong ingin dianggap dewasa dan jantan, dorongan kuat untuk mencoba, ingin menghilangkan rasa bosan, kesepian, stress atau persoalan yang sedang dihadapinya.
Penyalahgunaan narkoba pada umumnya diawali dari perkenalannya terhadap rokok atau minuman beralkohol. Jika rema telah terbiasa merokok, maka dengan mudah ia akan beralih kepada ganja atau narkoba lain yang berbahaya bagi kesehatan fisik dan psikis di pemakai. Selain itu juga, akan diikuti dengan akses sosial ekonomi yang sangat merugikan. Perkelahian pelajar, pencurian, perampokan dan kejahatan lainnya. Hal ini terutama berlaku bagi anak laki-laki sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an : “Diantara kalian dengan jalan meminum khamar dan main judi dan menjauhkan kelaian dari ingat kepada Allah dan dari shalat. Apakah kalian tidak mau berhenti ?” (QS Al-Maidah: 91).
Sedangkan pada anak perempuan kebiasaan menggunakan obat penenang, penghilang rasa nyeri, jika mengalami stress memudahkannya beralih kepengguna narkoba lain. Sekali ia mau menerima tawaran pengguna narkoba, selanjutnya ia akan sulit menolak tawaran berikutnya, sehingga akhirnya menjadi kebiasaan yang menimbulkan ketagihan dan ketergantungan. Ketergantungan, adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik, sehingga tubuh memerlukan jumlah narkoba yang makin bertambah, sehingga jika pemakaiannya dikurangi atau dihentikan timbul gejala putus zat. Oleh karena itu, ia selalu berusaha memperoleh narkoba yang dibutuhkannya agar ia dapat melakukan kegiatan sehari-hari, secara “normal”. Jika tidak, ia akan mengalami gejala putus zat. Jika ketergantungan, maka selanjutnya ia sendiri yang akan aktif mencari narkoba yang dibutuhkannya, bahkan mungkin menjadi pengedar atau penjualnya, demi memperoleh uang untuk membeli narkoba.
Pada umunya, pengguna narkoba berlangsung secara progresif, dari pemakaian kadang-kadang pemakaian teratur, kemudian pemakaian berbagai jenis zat, sampai akhirnya mengalami ketergantungan kepada zat-zat tersebut. Pada setiap tahapan, pemakaiannya menjadi lebih intensif, lebih bervariasi, dan meningkatkan pengaruh yang merusak tubuh. Jika seorang pemakai masih dalam tahap pemula, ia lebih mudah untuk disembuhakan.Namun, semakin sering menggunakannya, makin sulit baginya untuk melepaskan dari ketergantungan kepada narkoba.
Pemakai narkoba dalam pandangan Islam adalah manusia terkutuk. ereka akan mendapat kerugian didunia dan akhirat. Hal ini dijelaskan dengan gamblan dalam dalil-dalil sebagai berikut: “Barang siapa bertemu Allah sebagai pecandu khamr, maka ia bertemudengan-Nya seperti penyembah berhala.” (HR. An-Nisa). “Tiga golongan yang Allah haramkan untuk masuk surga yaitu peminum khamr, durhaka kepada orang tua, dan yang mengizinkan terjadinya perzinaan dikalangan keluarga”. (HR. Ahmad, Nasai, Al-Bazzar, dan Hakim).
Oleh karena itu, kita sebagai orang dewasa atau orang tua merupakan panutan dalam kehidupan anak, khususnya ana-anak yang sedang mengijak remaja. Adapun peran orang tua sebagai panutan bagi anak-anaknya adalah : memberikan contoh prilaku dan sikap yang positif, melibatkan diri dalam kehidupan sosial mereka, menjelaskan kepada mereka mengenai harapan-harapan orang tua dan memberi dukungan untuk menacpainya, mendiskusikan konsekuensi negative dari penyalahgunaan narkoba, memberikan perhatian yang besar terhadap kesiapan dan keputusan yang diambil anak mengenai penyalahgunaan narkoba.
Anak-anak yang sedang mengijak masa remaja biasanya menginginkan orang tua untuk berbicara kepada mereka mengennai narkoba, jika orang tua ragu-ragu atau tidak yakin dengan pendirian sendiri, maka mereka justru akan tergoda untuk mencobanya. Orang tua perlu mempercayai diri dengan pengetahuan mengenai narkoba dan sampaikan pengetahuan tersebut kepada mereka denan sikap yakin dan percaya diri. Konsekuensi jika mereka mencoba menggunakan narkoba jug aperlu didiskusikan. Jelaskan hukuman apa yang akan diterima dan bagaimana pelaksanaannya. Konsekuensi yang dipilih sebaiknya beralasan dan berakaitan dengan kesalahan yang dibuat.
Berlawanan dengan yang selama ini dikhawatirkan orang tua, peraturan yang ketat di rumah ternyata tidak akan membuat anak merasa terasing. Bila peraturan yang ketat disertai dengan penjelasan bahwa tujuannya adalah untuk melindungi anak dari bahaya, mereka justru merasa bahwa orang tua memberikan cukup perhatian dan kasih sayang.
Masalah penyalahgunaan narkoba memang merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan penanggulangan secara multidisipliner, kerja sama multisektoral, keikutsertaan masyarakat secara aktif, serta juga tidak lepas peran serta dari orang tua. Upaya ini harus dilakukan semua pihak secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.
Meskipun narkoba tertentu sangat bermanfaat, bagi pengobatan dan pelayanan kesehatan namun, apabiladisalahgunakan atau jika dipergunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan maka akan beakibat sangat merugikan bagi individu, maupun masyarakat, terlebih jika diedarkan seara illegal. Penyalahgunaan narkoba bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan suatu bangsa.
Teori Social Control ini beranggapan bahwa individu dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya yakni tidak melakukan penyimpangan perilaku (baik) dan berperilaku menyimpang (tidak baik). Baik tidaknya perilaku individu sangat bergantung pada kondisi masyarakatnya. Artinya perilaku baik dan tidak baik diciptakan oleh masyarakat sendiri (Hagan, 1987). Selanjutnya penganut paham ini berpendapat bahwa ikatan sosial seseorang dengan masyarakat dipandang sebagai faktor pencegah timbulnya perilaku menyimpang termasuk penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya.
Seseorang yang terlepas ikatan sosial dengan masyarakatnya akan cenderung berperilaku bebas untuk melakukan penyimpangan. Manakala dalam masyarakat lembaga kontrol sosial tidak berfungsi secara maksimal niscaya akan mengakibatkan melemahnya atau terputusnya ikatan sosial anggota masyarakat dengan masyarakat secara keseluruhan dan akibatnya anggota masyarakat akan leluasa untuk melakukan perilaku menyimpang. Menurut Hirschi (1988) terdapat 4 (empat) unsur dalam ikatan sosial antara lain:

a) Attachment :
Mengacu pada kemampuan seseorang untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain. Jika attachment sudah terbentuk maka seseorang akan peka terhadap pikiran, perasaan dan kehendak orang lain. Terdapat 2 jenis attachment yaitu total dan partial. Attachment total jika seseorang berhasil melepas rasa ego dalam dirinya sehingga yang muncul adalah rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan ini kemudian mendorong seseorang untuk mentaati aturan sebab jika melanggar berarti menyakiti orang lain, adanya saling ketergantungan satu sama lain. Sedangkan attachment partial merupakan hubungan seseorang dengan orang lain, di mana hubungan tersebut tidak didasarkan pada peleburan ego dengan orang lain tetapi karena hadirnya yang lain yang mengawasi. Dengan demikian attachment total akan mencegah hasrat seseorang untuk melakukan deviasi perilaku. Sedangkan attachment partial akan menimbulkan kepatuhan ketika ada orang lain yang mengawasi.
Pada kasus diatas bahwa Frans, berasal dari keluarga “Broken Home”, secara psikologis usia frans yang masih muda sangat membutuhkan arahan dan bimbingan termasuk pengawasan dari lingkungan terdekatnya, perlu adanya kasih sayang, perhatian, kedekatan emosi sehingga dia merasa malu untuk melakukan perbuatan yang menyimpang, namun karena ketiadaan hal-hal tersebut mengakibatkan Frans terlibat dalam lingkungan yang salah yaitu lingkungan penyalahgunaan narkoba.

b) Commitment
Mengacu pada keterikatan seseorang pada subsistem konvensional seperti lembaga, sekolah, pekerjaan, oranganisasi dan sebagainya. Perhitungan untung rugi keterlibatan seseorang dalam perilaku menyimpang sangat diperhatikan.
Artinya ketika lembaga atau pekerjaan memberikan manfaat dan keuntungan bagi seseorang maka kecil kemungkinan untuk melakukan perilaku menyimpang.
Disini kredibilitas dari sekolahan sangat penting, tidak semua sekolahan memberlakukan peraturan-peraturan pendidikan dan peraturan lingkungan sekolah dengan baik dan konsisten, hal-hal tersebut yang dapat dijadikan oleh remaja seperti Frans untuk tidak terikat oleh aturan-aturan yang lemah dilingkungan pendidikannya.

c) Involvement
Mengacu pada suatu pemikiran bahwa apabila seseorang disibukkan atau berperan aktif dalam berbagai kegiatan konvensional atau pekerjaan maka ia tidak akan sempat berpikir apalagi terlibat dalam perilaku menyimpang.
Partisipasi atau keaktifan Frans disekolahan dalam mengikuti setiap kegiatan berpengaruh terhadap faktor psikologis dan sosiologis yang positif, namun ketika hal itu berbalik maka keterlibatan dalam lingkungan yang negatif pula yang akan mempengaruhi Frans berperilaku menyimpang.

d) Beliefs
Mengacu pada kepercayaan atau keyakinan seseorang pada nilai atau kaidah kemasyarakatan yang berlaku. Kepercayaan terhadap norma atau aturan yang ada akan sangat mempengaruhi seseorang bertindak mematuhi atau melawan peraturan yang ada.
Tingkat pengetahuan terhadap aturan dan norma-norma serta efek jera yang ditimbulkan dari hal tersebut, berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang.Ketika dilingkungan dimana Frans terlibat didalamnya menganggap bahwa mereka tak bisa disentuh oleh aturan-aturan tersebut dan membuat norma-norma sendiri dilingkungannya, maka akan terjadi perlawanan terhadap aturan atau norma yang berlaku dominan dimasyarakat.
Menurut Hirschi keempat unsur ikatan sosial tersebut harus terbentuk dalam masyarakat. Jika unsur-unsur tersebut tidak terbentuk maka penyimpangan perilaku termasuk penyalahgunaan berbagai jenis narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya berpeluang besar untuk dilakukan oleh masyarakat luas khususnya anggota masyarakat pada usia remaja atau dewasa awal.

3. Analisis Labeling Theory
Khusus ”Teori Labeling” dalam pendekatannya untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan dapat dibedakan dalam dua bagian, Pertama Persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap atau label, Kedua Efek Labeling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya.
Berkaitan dengan efek Labeling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya, maka hal ini perlu mendapat perhatian serius sebagai akibat dari Labeling terhadap petugas Polantas. Oleh karena salah satu asumsi dasar teori Labeling menyatakan bahwa Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai penjahat. Sebagai contoh bagaimana kita melihat hasil penelitian dari Prof Romli yang melakukan penelitian tentang interaksi masyarakat dan polisi, khususnya polisi lalulintas ketika mereka menerima Labeling saat melakukan kegiatan ”tilang”.
Label atau cap yang sudah ada akan diadopsi oleh sipenerima label atau cap dan mempengaruhi dirinya sehingga ia mengakui dengan sendirinya sebagaimana label atau cap yang diberikan oleh sipengamat. Hal ini dapat memperbesar kecenderungan penyimpangan tingkah laku, untuk itu dibutuhkan reoranganisasi psikologis oleh karena sekali label atau cap itu dilekatkan akan sulit untuk melepaskan label atau cap dimaksud dan kemudian akan mengidentifikasikan dirinya dengan label tersebut.
Atas dasar pemikiran diatas, demi mencegah penyimpangan perilaku bagi petugas Polantas yang akan lahir kemudian ini, maka upaya ”Pencitraan Kembali” dalam arti yang multi aspek perlu mendapat perhatian serius kita semua. Bahkan saya percaya peLabeling terhadap petugas Polantas sebenarnya tidak serta merta menyamaratakan segenap anggota kepolisian yang ada dengan peLabeling dimaksud.
Pada kasus penyalahgunaan narkoba diatas, awalnya Frans hanyalah anak sekolah biasa yang karena kurangnya perhatian dari lingkungan atau keluarga sering melakukan pelanggaran-pelanggaran diantaranya bolos sekolah dan berkelahi, kemudian dalam lingkungannya termasuk teman-teman sekolahnya telah muncul stigma atau cap bahwa frans adalah anak nakal, sehingga lambat laun Frans mulai dijauhi oleh teman-temannya.
Frans kemudian mencari komuniti baru yang mau menerimanya, kemudian bergabunglah Frans dengan Anto yang memiliki komuniti sebagai pengguna obat-obat terlarang. Sehingga frans mulai mengenal perilaku menyimpang yang lebih besar yaitu penyalahgunaan narkoba.
Dalam teori Labelling ini yang utama adalah bukan pelakunya, tapi bagaimana reaksi masyarakat terhadap perilaku tersebut. Kurang perhatian dari keluarga, ditambah adanya Stigma dari kelompok sosial lainya membawa frans kearah yang lebih jauh dalam rangka mencari identitas dirinya yaitu kedalam kelompok baru yang mau menerimanya dan berperilaku sebagaimana yang telah di strigmakan olah kelompok yang sebelumnya menjadi comunitynya.
Cara pandang dalam menganggap pelaku kejahatan seperti itu, dalam perspektif sosiologi, termasuk dalam teori label (Labeling Theory). Teori ini memang beranggapan bahwa pelaku kejahatan merupakan kelompok yang sudah bisa diidentifikasi dalam suatu peta yang terpredisposisikan secara sosial tertentu. Individu atau kelompok masyarakat tertentu yang sudah dilabel itu seolah-olah sudah selalu harus bersalah berbuat sesuatu seperti yang dituduhkan (dengan asumsi mereka sudah sering atau secara berulang melakukan itu sebelumnya). Pihak yang dituduh karena masuk dalam peta komunitas (atau anggota komunitas) yang dilabel itu harus menerimanya, karena sama sekali tak bisa melakukan pembelaan.
Kekuatan suatu label yang kemudian berwujud antara pihak penuduh atau pelabel dengan pihak yang dituduh atau dicurigai itu tentu saja dipengaruhi oleh siapa yang melabelnya dan siapa yang terkena label. Semakin kuat kewenangan suatu pihak tertentu memberikan label (lalu menuduh), maka semakin lemah pula posisi tawar pihak (individu-aktor atau kelompok) untuk melakukan pembelaan terhadap diri atau pihaknya. Dalam konteks ini, kalau pihak yang menuduh adalah kalangan aparat/pejabat yang berwenang, sementara mereka tak memiliki kekuatan apa-apa untuk melakukan counter terhadap apa yang dituduhkan.
Dengan kata lain, pihak yang sudah dilabel itu, yang dalam konteks hubungannya dengan ledakan bom di gedung DPR dan Hotel JW Marriott adalah pihak GAM dan JI, maka mereka harus pasrah menerima tuduhan atau kambing hitam tanpa bisa melakukan pembelaan yang berarti. Karena sudah pasti pihak kepolisian, kalau benar-benar bekerja sesuai dengan pernyataan Kapolri itu, hanya memerlukan fakta-fakta pendukung saja untuk semakin mengarahkan tuduhan atau dugaan mereka. Demikian juga masyarakat, seolah-olah tak memiliki kemungkinan lain untuk mengetahui siapa pelaku yang sesungguhnya berdasarkan penyelidikan polisi sesuai dengan prinsip profesionalisme dalam bekerja.
Tetapi, kecuali cara pandang perspektif Labeling ini sudah memperoleh kritik mendasar dari banyak pakar sosiologi – karena manusia atau suatu kelompok dianggap sebagai pihak yang selalu berbuat jahat dan atau tak mau memperbaiki diri, juga dalam konteks pengeboman di DPR dan Hotel Marriott, terkait langsung dengan masalah-masalah politik dalam negeri yang tidak bisa disederhanakan begitu saja. Mengapa? Para pelaku instabilitas dalam suatu masyarakat politik yang plural sudah pasti tak bersifat tunggal, bukan kelompok itu-itu saja, melainkan harus diidentifikasi sesuai dengan pluralitasnya terutama yang memiliki kepentingan terhadap pengelolaan negara, bahkan bukan mustahil merupakan aliansi dari lintas kelompok kepentingan.

4. Analisis Reintegrative Shaming Theory
Persoalan narkoba, khususnya di Palembang Sumsel agaknya tidak hanya dilakukan kaum remaja saja, tetapi juga mulai merambah kalangan anak-anak pelajar hingga mahasiswa. Kasus narkoba di Sumsel berdasarkan data Badan Narkotika Provinsi tersebut, hingga saat ini tercatat 726 kasus, dan dari jumlah itu 311 di antaranya merupakan kasus narkotika seperti ganja dan sabu-sabu. Banyaknya kasus narkoba di Palembang, sehingga peran serta semua pihak termasuk mahasiswa sangat diperlukan. Secara psikologis perkembangan masa remaja merupakan masa paling rentan terhadap penyalahgunaan narkoba, antara lain ditandai perubahan cepat baik jasmani, emosional, seksual, intelektual, dan sosial yang menimbulkan ketegangan, keresahan, dan perasaan tertekan. Situasi kejiwaan tersebut dapat memicu remaja menyalahgunakan narkoba. Oleh karena itu, kiat-kiat mahasiswa dalam membantu remaja agar terhindar dari penyalahgunaan narkoba, antara lain menyediakan diri sebagai tempat menyampaikan permasalahan dihadapi untuk meringankan masalah remaja itu, menciptakan suasana nyaman dan bebas dari rasa kekhawatiran serta memberi saran pemecahan sebagai masukan.
Kemudian berdasarkan Re-Integrative Shaming Theory bahwa untuk mengendalikan kenakalan remaja ini perlunya dua hal yang perlu diterapkan dalam mendidik para remaja yaitu: Pertama, Malu Berbuat Jahat. Benteng penjaga pertama agar remaja tidak salah langkah dalam hidup ini adalah menumbuhkan rasa malu melakukan perbuatan yang tidak benar atau jahat. Pemberian rasa malu ( shaming ) yang diikuti upaya untuk mengintegresikan pelaku pelanggaran ke dalam masyarakat terutama pada keluarga, sehingga menjadi anak yang patuh pada norma yang berlaku di masyarakat kembali.( Supardi Hamid, ttg “ Reintegrative Shaming Theory by braithwaite”). Dalam memberikan pendidikan, orangtua hendaknya dengan tegas dapat menunjukkan kepada anak perbedaan dan akibat dari perbuatan baik dan tidak baik atau perbuatan benar dan tidak benar. Kejelasan orangtua menerangkan hal ini akan dapat menghilangkan keraguan anak dalam mengambil keputusan. Keputusan untuk memilih kebaikan dan meninggalkan kejahatan. Penjelasan akan hal ini sebaiknya diberikan sejak dini. Semakin awal semakin baik.
Kedua, Takut Akibat Perbuatan Jahat. Apabila anak bertambah besar, orangtua selain menunjukkan bahwa suatu perbuatan tertentu tidak pantas, memalukan untuk dilakukan oleh anaknya, maka orangtua dapat meningkatkannya dengan memberikan uraian tentang akibat perbuatan buruk yang dilakukan anaknya. Akibat buruk terutama adalah yang diterima oleh si anak sendiri, kemudian terangkan pula dampak negatif yang akan diterima pula oleh orangtua, keluarganya serta lingkungannya.
Berdasarkan teori Re-Integrative Shaming maka pengendalian untuk menekan dan menanggulangi terjadinya kenakalan remaja tersebut, perlu diperhatikan langkah langkah sebagai berikut : (1) Meletakkan konsep kesadaran diri dan aplikasi untuk memperbaiki sikap mental yang negative menjadi sikap positif dan Ikhlas. Dengan melatih kesadaran diri agar lebih mengenal diri (tahu diri), sehingga diharapkan pribadi remaja tidak mudah untuk dipengaruhi atau terpengaruh oleh lingkup eksternal negatif yang ada di sekitarnya. (2) Melatih untuk selalu berpikir positif dan ikhlas dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi dasar untuk menanamkan sikap mental yang positif. Dan merupakan modal awal untuk pembinaan akhlak yan baik untuk anak remaja , apabila ini sudah merupakan habit atau kebiasaan yang dilakukan sehari-hari , segala niat dan tindakan tindakan negative akan berkurang. (3) Melatih untuk memiliki jiwa mandiri , dengan kemampuan yang dimiliki akan meningkatkan kepercayaan diri dan mampu untuk meperbaiki perilaku buruk dengan sugesti diri dengan energi, sehingga tertanam jiwa kemandirian dan memiliki kesadaran diri yang positif. (4) Orang tua harus dapat memberi contoh dan tauladan bagi perkembangan perilaku remaja. Seorang remaja perlu contoh tauladan dalam mencari jatidirinya, disini perlu tokoh panutan yang menjadi teladan yang patut dicontoh dan ditiru , sehingga mereka tidak salah meniru. Tokoh yang pantas ditiru adalah orang tua sendiri , bila orang tua tak dapat dijadikan tokoh panutan ,maka sang anak akan mencari panutan di luar rumah.
Kemudian dalam Re-Integrative Shaming maka tindakan yang berbentuk represif juga perlu dilakukan sebagai upaya penegakan hukum terhadap ancaman faktual dengan sanksi yang tegas dan konsisten sehingga dapat membuat jera para pelaku penyalagunaan dan pengedar narkoba. Bentuk kegiatan yang dilakukan dalam upaya penanggulangan dalam bentuk represif adalah sebagai berikut : 1) Memutus jalur peredaran gelap narkoba; 2) Mengungkap jaringan sindikat; 3) Mengungkap motivasi/latar belakang dari kejahatan penyalahgunaan narkoba.
Disamping itu juga perlunya tindakan proses rehabilitasi bertujuan untuk. mempersiapkan mantan penyalahgunaan Narkoba untuk. kembali ke masyarakat. Rehabilitasi menurut Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dalam Bab I ketentuan umum sebagai berikut : 1) Rehabilitasi medis, Pasal 1 (15) adalab suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan; 2) Rehabilitasi sosial, Pasal 1 (16) ada lab suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu Narkotika dapat kemba!i melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Untuk kegiatan ini Polri mengadakan kerjasama dengan instansi di luar Polri, khususnya Depsos dan Depkes, serta instansi swasta maupun LSM. Merujuk surat dari kepala Pelaksana Harian BNN, Nomor Surat : B/149/II/2004/BNN Tanggal 20 Februari 2004, Point 3, Berbunyi sebagai berikut : “Akhir – akhir ini semakin banyak permasalahan penyalahgunaan Narkoba yang bersinggungan dengan penyelesaian secara hukum, namun mereka siap untuk mengikuti Rehabilitasi sambil proses hukum tersebut berjalan/ditangani (pembantaran).
Dengan demikian ada suatu dasar bagi seseorang yang terlibat dalam penyalahgunaan Narkoba untuk melakukan atau meminta kepada penyidik dalam rangka penyembuhan atau Rehabilitasi untuk pembantaran dan mengikuti proses rehabilitasi pada rumah sakit atau panti rehabilitasi yang telah ditunjuk atau ditetapkan sebagai rujukkannya. Seperti halnya Polri bekerjasama dengan Parmadi Siwi, RS. KO Fatmwati dan lain-lain, sebagai tempat rujukan dalam rangka pengobatan untuk rehabilitasi para penyalahguna narkoba.
Dengan setelah selesainya proses rehabilitasi tidak dengan sendirinya bagi pengguna dinyatakan sembuh total tetapi diperlukan suatu pola pengawasan yang baik untuk mencegah terulangnya yang bersangkutan untuk kembali menggunakan Narkoba.
Setelah mantan penyalahgunaan narkoba dinyatakan boleh keluar dari tempat rehabilitasi dan dikembalikan kepada penyidik untuk proses hukum selanjutnya, ini belum berarti tugas panti rehabiltiasi dan Polri sebagai penyidik tersebut telah tuntas atau selesai. Masih ada tugas yang perlu dilakukan berupa pemantauan dalam kurun waktu tertentu. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada mantan korban penyalahgunaan Narkoba. Tentu saja hal ini tidak mudah dilakukan, jadi masih memerlukan bantuan dari semua pihak yang berkaitan dengan penanggulangan Narkoba.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
Setelah mengupas kasus penyalahgunaan narkoba oleh anak dengan analisis meggunakan Social Control Theory, Labeling Theory dan re-integarative shaming Theory, dapatlah terlihat bagaimana munculnya perilaku kenakalan remaja (juvenile deliquency) dimulai dari perilaku menyimpang, bahwa individu dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya yakni tidak melakukan penyimpangan perilaku (baik) dan berperilaku menyimpang (tidak baik). Baik tidaknya perilaku individu sangat bergantung pada kondisi masyarakatnya. Artinya perilaku baik dan tidak baik diciptakan oleh masyarakat sendiri, selanjutnya berdasarkan Social Control Theory terdapat ikatan sosial seseorang dengan masyarakat dipandang sebagai faktor pencegah timbulnya perilaku menyimpang termasuk penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya. Kemudian ada beberapa alasan mengapa obat-obat berbahaya digunakan oleh anak/remaja diantaranya adalah rasa frustasi dan kecewa terhadap lingkunganya, tingkat pendidikan yang kurang, dan lain-lain. Walaupun demikian, ada salah satu alasan yang paling penting dan sering terjadi di banyak negara di dunia, yaitu, perubahan dalam struktur sosial. Ketika situasi pendukung bagi anak/remaja sudah mulai berganti, anak, remaja itu tidak dapat membiasakan diri dalam situasi baru tersebut. Akibatnya anak/remaja mencari perlindungan atau pelarian terhadap masalah yang dihadapi. Malangnya, sering perlindungan atau pelarian itu didapat dalam dunia adiksi obat.
Anak/remaja yang terlepas ikatan sosial dengan lingkungan keluarga dan masyarakatnya akan cenderung berperilaku bebas untuk melakukan penyimpangan. Manakala dalam masyarakat lembaga kontrol sosial tidak berfungsi secara maksimal niscaya akan mengakibatkan melemahnya atau terputusnya ikatan sosial anak/remaja dengan masyarakat secara keseluruhan dan akibatnya anak/remaja tersebut akan terus untuk melakukan perilaku menyimpang seperti dengan menyalahgunakan narkoba, selanjutnya masyarakat memberikan Labeling pada remaja tersebut sebagai pelaku kriminal sehingga pada akhirnya kenakalan remaja semakin berkembang.
Oleh karena itu, untuk mencegah berkembangnya kenakalan remaja dalam bentuk penyalahgunaan narkoba dan untuk memberikan efek general detterent maka berdasarkan re-integarative saming Theory remaja tersebut diberikan atau diperlakukan rasa malu (saming) seperti dilakukan penangkapan oleh kepolisian dan dilakukan penyebarluasan dalam media massa bahwa remaja tersebut sebagai pelaku narkoba, disamping itu upaya rehabilitasi terhadap para penyalahguna narkoba agar bisa kembali ke masyarakat untuk hidup yang lebih baik.

2. Saran-saran
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil pemahaman bahwa kenakalan remaja merupakan hal yang penting dan perlu mendapat kajian mendalam dan komprehensif karena nilai strategis dan penilaian bahwa anak adalah aset yang sangat penting bagi masa depan. Terdapat teori kriminologi seperti Social Control Theory, Labeling Theory dan Re-Integrative Shaming Theory yang berusaha menjelaskan kenalakan remaja yang berangkat dari asumsi-asumsi yang berbeda, kesemuanya harus dipadukan agar mendapat perspektif yang lebih lengkap dan sesuai dengan konteks dan perkembangan. Sehingga penyalahgunaan narkoba oleh remaja dapat diminimalisir.
Penyalahgunaan narkoba oleh remaja merupakan kenakalan yang cukup menonjol dan harus disikapi dengan bijaksanan dengan tidak mengkambinghitamkan semata diri sang anak, namun agar dikaji dengan mengedepankan pemecahan masalah dan pencegahan yang lebih luas dengan demikian dapat memberikan kontribusi positif terhadap upaya menciptakan dan menjaga ketertiban dalam kehidupan masyarakat yang lebih baik.
(Penulis : Agung Yudha Adi Nugraha/Ptik54)

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Dra. Endang Sumiarni, SH.M.Hum, 2003. Perlindungan Hukum terhadap Anak Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Unika Atmajaya.
Dr. Kartini Kartono, 1992, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Jakarta: Rajawali Pers.
Dra. Mamik Sri Supatmi dan Herlina Permata Sari., S.Sos., M.Crim, 2007. Dasar-dasar Teori Sosial Kejahatan, Jakarta: PT. Restu Agung.
Drs Sudarsono SH, MSi, 2004, Kenakalan Remaja, Jakarta: Rineka Cipta.
Paulus Hadisuprapto SH., MH, 1997, Juvenile Deliquency Pemahaman dan Penanggulangannya, Jakarta: Citra Aditya Bakti.
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM, 2005, Treori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: PT. Refika Aditama.
PTIK, 2009, Kuliah Kenakalan Remaja, Mahasiswa PTIK Angkatan 54, Jakarta: PTIK.
Republik Indonesia, 1997, Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Jakarta.
Website:
http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2008/02/13/20463659/sumsel.nomor.tiga.pemakai.narkoba.remaja
http://www.indosiar.com/patroli/35571/terlibat-peredaran-narkoba-remaja-ditangkap