Kontribusi Tingkat Pemahaman Konsepsi Wawasan NusantaraTerhadap Sikap Nasionalisme dan Krakter Kebangsaan


Proyeksi Geopolitik Sebagai Pemahaman Universal

            Pemahaman akan proyeksi geopolitik menjadi sebuah keharusan agar diperoleh sebuah titik pijak pemikiran yang holistik dan komprehensif. Dari berbagai peristiwa yang menyelimuti suasana politik global, setidaknya ada empat hal yang selalu muncul dari setiap evolusi konseptual geopolitik, yaitu : 1) kajian-kajian geopolitik cenderung menawarkan adanya strategi ekspansionis; 2) strategi ekspansionis diarahkan untuk menguasai sumber-sumber daya global yang berada di ranah geografi tertentu; 3) strategi eskpansionis ini cenderung mengarah kepada ambisi suatu negra utama untuk menjelma menjadi negara hegemoni; dan 4) strategi ekspansionis ini cenderung diwarnai dengan pertarungan kekuatan yang bisa bereskalasi menjadi perang terbuka antar negara. (Andi Wijajanto, 2022)

            Perkembangan geopolitik kembali muncul akibat pertarungan paradigmatis antara pemikiran geopolitik Jerman dan Amerika, dimana Jerman berupaya untuk melakukan ekspansi dengan menggabungkan kekuatan darat, laut, dan udara. Dalam berbagai literatur, pemikiran Nicholas J. Spykman mewarnai peristiwa ini, dimana Spykman mengatakan bahwa Wawasan Kombinasi merupakan teori menghubungkan kekuatan darat, laut, dan udara, yang dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan. Bahwa negara manapun yang mampu mengkombinasikan kekuatan darat, laut, dan udara akan menguasai daerah batas (rimland) antar bangsa yang permanen dan abadi.

            Menilik pada perjalanan sejarah, pijakan geopolitik dapat dikatakan dimulai saat hegemoni kekaisaran muncul guna membangkitkan jiwa nasionalisme negara-negara Eropa sebagai impact dari situasi politik dan ekonomi dari Perang Napoleon (1803-1815). Diwarnai dengan berbagai ekspansi dan pembentukan koalisi, perang ini membawa konsekuensi mendalam pada sejarah global dan memunculkan sentimen nasionaisme dan liberalisme.

            Puncak dari geopolitik lahir saat terjadinya pertarungan antara hegemoni melawan universalistik, yang ditandai dengan pertarungan antara dua superpower yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pertarungan ini merubah wajah dunia menjadi dua kutub utama dalam perang berkepanjangan dan dikenal di dunia internasional sebagai the cold war. Pada medio ini pula lahir berbagai pemikiran khususnya dalam segmen teori Hubungan Internasional, diantaranya adalah pemikiran dari Thomas Kuhn dalam buku The Structure of Scientific Revolutions yang menggambarkan apa itu paradigma dan bagaimana paradigma merefleksikan diri sebagai model atau pola dari keseluruhan konstelasi hubungan masyarakat dalam politik internasional.

            Secara umum, paradigma dalam hubungan internasional terbagi dalam tiga pemikiran besar yakni paradigma realisme dimana negara dianggap sebagai aktor tunggal (state actor) dalam politik internasional, sehingga kekuasaan dan kedaulatan negara dianggap sebagai ajang perebutan antar negara-negara yang berkepentingan, hal ini berbeda dengan pemikiran dalam paradigma liberalisme dimana muncul kekuatan baru dalam wujud non state actor yang mampu menantang kekuatan negara diawali dengan lahirnya International Committee of the Red Cross. Kehadiran non state actor telah mampu mendelegitimasi kedaulatan negara. Pada contoh lainnya, bisa kita bayangkan sebuah organsiasi seperti FIFA mampu menjatuhkan sanksi larangan bertanding kepada Indonesia di turnamen internasional dan juga larangan mendapatkan bantuan dari FIFA ataupun dari Konfederasi Sepak Bola Asia pada tahun 2015 yang lalu. Paradigma terakhir adalah yang sering kita kenal dengan istilah paradigma konstruktivisme, dimana struktur internasional ditentukan dari bagaimana struktur menentukan kepentingan dan identitas negara dan bagaimana state actor dan non state actor menyusun kembali struktur ini

Indonesia di Tengah Demokratisasi dan Globalisasi

            Adalah sebuah realitas ketika dinamika kehidupan di Indonesia akan terkena pengaruh atau dampak dari kondisi demokratisasi dan globalisasi yang melanda dunia dan merubah wajah dunia dengan begitu cepatnya. Untuk itu, beragam pergolakan yang terjadi di belahan dunia lain harus mampu dipahami, sebagai bentuk antisipasi terhadap berbagai dampak yang berimplikasi baik langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan di dalam negeri. Disamping itu, dengan memahami pergolakan yang terjadi dalam tataran global, maka kita akan mampu mencerna pergeseran pandangan dunia dari era realisme menuju era liberalisme dan dari era liberalisme menuju era konstruktivisme, sehingga kita dapat mengantisipasi pergeseran pandangan itu dengan baik.

Pada periode tahun 1945 sampai dengan tahun 1990 adalah periode konflik ideologi antara fasisme (Jerman, beserta sekutunya Jepang dan Italy), dengan slogan Deutschland ber alles yang mengatakan bahwa ras-nya adalah ras yang terbaik. Tetapi akhirnya, kekuatan fasisme jatuh oleh dua kekuatan besar yakni blok Barat dengan Demokrasi Liberal (Amerika dan sekutunya) dan blok Timur dengan ideologi Komunisme (Soviet). Amerika mengusung Demokrasi Liberal yang mengedepankan paham bahwa negara menghargai hak – hak individu, dimana individu diberikan kebebasan untuk mengatur hidupnya. Jadi titik beratnya adalah kepentingan individu lebih dikedepankan dibandingkan dengan kepentingan kelompok (liberalisasi).

Konsep ini dilatarbelakangi oleh peristiwa Revolusi Perancis, namun menjadi membesar di Amerika karena pada umumnya pemilik tanah di Amerika dahulu adalah masyarakat Indian. Dengan kedatangan berbagai kelompok masyarakat ke Amerika baik dari Eropa, Afrika, Asia, Amerika Latin dll, maka mereka menginginkan adanya perlindungan akan hak individu. Sehingga dalam praktiknya, hal ini berakulturasi dan membudaya sampai akhirnya keyakinan bahwa kepentingan individu adalah lebih penting ketimbang kepentingan kelompok.

Sedangkan ideologi Komunis yang berasal dari kata commun, yang berarti kumpulan (komunal), sehingga paham ini mengedepankan bahwa kepentingan bersama lebih penting daripada kepentingan individu. Kedua doktrin ini, baik Liberal maupun Komunis, sangat mempengaruhi dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat global baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial maupun budaya.

Periode 1990an, kita melihat ideologi komunisme jatuh yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet berganti dengan negara Rusia dan negara – negara kecilnya lainnya, kemudian terjadi balkanisasi di Yugoslavia, sedangkan Cina akhirnya membuka diri dengan dunia luar. Kemenangan Amerika dengan Demokrasi Liberalnya membuat peta politik dunia mengalami pergeseran, dimana sebelumnya kita melihat dunia yang lebih bersifat bipolar yakni dipengaruhi oleh dua kekuatan besar Barat dan Timur, menjadi lebih bersifat monopolar yakni mengarah ke satu kutub yang dinamakan Demokratisasi. Pada titik ini pula, terjadi pergeseran pandangan dunia dari sebelumnya menganut cara pandang realisme menjadi cara pandang liberalisme.

Sebagai pihak pemenang perang, Amerika dan sekutunya mampu untuk mendikte dunia, menyebarkan pengaruh / hegemoni dan agendanya termasuk dalam menyebarkan ideologi demokrasi ini. Karena secara prinsip, dunia bersifat anarchy. Anarchy adalah political and social disorder due to the absence of governmental control atau terjadinya kekacauan karena tidak adanya otoritas yang mengatur. Pada kenyataanya dunia tidak memiliki Presiden Dunia, yang memiliki otoritas tunggal untuk memaksakan kemauannya kepada sebuah negara. Otoritas yang ada hanyalah Nation State, yang memiliki kedaulatan dan kekuatan untuk mengatur wilayah dan penduduknya sendiri. Karena bersifat anarki, maka dunia dipengaruhi oleh hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang, kondisi ini bisa diraskaan pada fenomena menangnya barat pada perang dingin. Amerika sebagai pihak pemenang perang, akan mendominiasi dunia sebagai pemegang hegemoni agar dapat survive dalam menguasai dunia. Dengan demikian, paham demokrasi Liberal yang diusung barat harus dapat disebarkan keseluruh dunia.

Ada dua pendapat besar yang melihat fenomena hegemoni barat dalam peta politik internasional, yakni Samuel Hutington (1996) lewat bukunya The Clash of Civilizations dan Francis Fukuyama (1992) dalam buku The end of History and The Last Man. Samuel Hutington mengatakan bahwa ketika perang antara Barat dan Timur selesai yang juga menandai berakhirnya perang ideologi, maka yang terjadi adalah clash conflict antar peradaban. Hutington menyebutkan setidaknya ada 9 (sembilan) peradaban yakni Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Cina, Amerika Latin, Kristen Ortodoks, dan Afrika. Dalam hipotesisnya, Hutington berpendapat bahwa peradaban ini akan mampu untuk mengganggu hegemoni barat dalam peta politik internasional.

Jika kita mencermati, khususnya negara di Asia Timur memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, karena itulah kita mengenal istilah The East Asian Miracle, yakni negara Hongkong, Indonesia, Jepang, Malaysia, Korea, Singapura, Cina dan Thailand. Perkembangan pada negara – negara ini dinilai cukup baik, namun akhirnya kita sadari bahwa negara – negara tersebut juga sempat dilanda financial crisis, yang oleh sebagian kalangan berpendapat bahwa crisis tersebut be enginered by the west. Hal ini perlu agar negara Asia Timur tersebut menjadi slowdown dan tidak melampaui Amerika, salah satunya menjadi faktor pemicu terjadinya Reformasi 1998. Begitupula dengan hipotesis dari sebagian kalangan yang berpendapat bahwa peradaban Islam (yang dapat melawan hegemoni Barat), perlu diperlambat dengan berbagai krisis agar tidak membesar.

Pendapat ini sejatinya merupakan antitesis dari pendapat Fukuyama yang mengatakan bahwa dengan berakhirnya perang dingin, maka dunia akan mengalami akhir dari sejarah dua ideologi besar (liberalisme dan komunisme). Dunia hanya akan mengarah pada satu titik, yakni liberalisme. Bahkan Fukuyama berpendapat bahwa tidak ada satupun negara yang dapat melawan pengaruh Demokrasi Liberal. Semua sistem politik yang tidak berlandaskan Demorkasi Liberal akan tumbang, seperti sistem otokrasi maupun oligarki. Artinya, negara yang menganut demokrasi liberal relatif akan lebih baik dari pada negara – negara yang tidak menganut demokrasi liberal. Meskipun pada kenyataannya, pendapat ini banyak di tentang termasuk oleh Hutington. Namun demikian, jika kita cermati beberapa negara yang menganut sistem non demokrasi pada kenyataannya telah tumbang, Indonesia salah satunya. Kekuasaan otokrasi Soeharto yang mencapai 32 tahun akhirnya tumbang, begitupula peristiwa Arab Spring seperti tumbangnya Ben Ali di Tunisia, Hosni Mubarak di Mesir, Muammar Qaddafi di Libya dan sebagainya. Badai demokrasi melanda keseluruh dunia, dimana kekuasaan adalah berada di tangan rakyat.

Setidaknya ada 4 (empat) ciri utama dari Demokratisasi yang terjadi di dunia. Pertama adalah menguatnya peran legislatif. Kita melihat bagaimana kedudukan legislatif pada era orde baru, yang seolah – olah berada dibawah eksekutif. Namun saat ini, legislatif berani men-challange eksekutif sekalipun. Kedua, adalah menguatnya media sebagai pilar ke-empat demokrasi setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pada era sebelumnya, media tidak bisa sembarangan berbicara ataupun menerbitkan berita yang sekiranya menyinggung pemerintahan. Namun saat ini, media memiliki kebebasan yang seluas – luasnya untuk berbicara tentang apa saja. Ketiga, menguatnya non state actor dalam wujud NGO (Non-Governmental Organization) ataupun lembaga swadaya masyarakat dan organisasi masyarakat (ormas) seperti International Committee of the Red Cross (ICRC), World Bank, International Monetary Fund (IMF) dan sebagainya yang pada kenyataanya mampu untuk mendikte keinginannya pada sebuah negara. Masih hangat dalam ingatan kita, bagaimana seorang Michel Camdessus (IMF Managing Directors 1987-2000) dengan jumawa bersedekap menyaksikan Soeharto menandatangani Letter of Intent (LoI) guna menerima bantuan IMF. Kejadian itu, merupakan pertanda berakhirnya era kekuasaan sebuah negara (state). Ciri Keempat adalah menguatnya tuntutan kebebasan hak individu (HAM) dan Supremasi Hukum.

Demokratisasi dengan segala ciri yang mengiringinya, secara umum memberikan dampak baik yang sifatnya positif maupun negatif. Dampak positifnya adalah memunculkan adanya sistem pemerintahan yang seimbang (check and ballance), dimana pemerintahan yang ada bukanlah pemegang otoritas tunggal dalam menentukan arah kebijakan negara. Peran rakyat semakin menguat dalam mempengaruhi dan mengawal kebijakan yang dikeluarkan, sehingga diharapkan kebijakan pemerintah yang dikeluarkan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Melihat fenomena demokratisasi yang melanda dunia, maka pertanyaan yang muncul adalah tentang mana yang harus didahulukan antara Demokrasi atau Kesejahteraan, dia mengatakan “Which One Must Come First..? Democracy or Welfare?”. Prof. Tito Karnavian berpendapat, ada dua rute yang dapat dipergunakan oleh sebuah negara untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakatnya. Rute pertama adalah mengedepankan demokrasi terlebih dahulu, dengan cara mengimplan demokrasi liberal sehingga masyarakat memiliki kebebasan untuk berbicara, berkumpul dan seterusnya. Ada sistem check and balance, dimana pemerintah bukanlah penguasa tunggal melainkan rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi. Baru kemudian tercapainya stabilitas pembangunan, pembangunan berjalan dan menuju kesejahteraan. Namun demikian, ada resiko yang juga harus diambil jika sebuah negara memilih rute pertama ini, masyarakat dengan demografi yang masih berbentuk piramid (low class-nya masih sangat mendominasi), yang berisikan masyarakat dengan low educated dan tingginya jumlah less fortunate people, belum dewasa atau belum siap dalam berdemokrasi, maka yang terjadi kemungkinan justru akan ‘men-derail’ jalan menuju kesejahteraan. Karena ada potensi konflik ketika masyarakat khususnya yang low class, merasa tidak sabar, memunculkan kecemburuan sosial, maka akan mendorong perasaan premordialisme baik yang sifatnya kesukuan, keagamaan dan sebagainya. Disamping itu, situasi kecemburuan juga dapat didikte oleh golongan high class (the have) untuk kepentingan politik atau kepentingan pribadi, sehingga dapat berakibat disintegrasi sosial.

Rute kedua adalah memilih kesejahteraan (welfare) terlebih dahulu yakni tanpa memandang terlebih dahulu apapun sistem yang digunakan, baik itu otokrasi, oligakri, teokrasi atau apapun juga, yang terpenting adalah mengejar pembangunan agar rakyat dapat memperoleh kesejahteraan. Sehingga akhirnya taraf hidup meningkat yang ditandai dengan mendominasinya golongan middle class, besarnya golongan high class dan sedikitnya kalangan low class. Karena ketika hal ini terjadi, maka masyarakat telah memiliki daya kritis yang tinggi, tingkat maturity yang tinggi serta siap untuk berdemokrasi, baru setelah itu sistem demokrasi di-implant kedalamnya. Kita menyaksikan Mahathir (Malaysia) dan Lee Kuan Yew (Singapura), memilih rute yang kedua yakni dengan mendahulukan kesejahteraan dibandingkan demokrasi. Sedangkan Indonesia, sadar atau tidak sadar telah memilih rute yang pertama, dimana demokrasi dijalankan terlebih dahulu pada sistem masyarakat yang bentuk demografinya masih berwujud piramida. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri, karena dengan kondisi masyarakat yang menginginkan kebebasan maka dapat berpotensi memunculkan konflik.

Kebebasan diartikan sebagai sesuatu yang absolut, terlebih ditengah berkembang pesatnya globalisasi. Salah satu contohnya adalah kebebasan dalam berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat dimuka umum, dimana masyarakat saat ini menginginkan kebebasan yang sebebas – bebasnya (absolut). Undang – undang 9 tahun 1998 telah memberikan ruang bagi individu untuk memberikan pendapatnya dimuka umum, namun demikian ada serangkaian kewajiban dan tanggung jawab yang mengiringi kebebasan Kebebasan yang terlalu Absolute Berpotensi menjadi Pemecah Bangsa tersebut (tidak absolut). Karena kebebasan yang ‘kebablasan’ akan dapat memunculkan konflik dan integrasi bangsa. Indonesia belum memasuki tahap kedewasan masyarakat yang dinamakan sebagai Litigation Hunger Society, yakni situasi Democratic Civil Society yang matang, manakala kesemua fenomena sosial yang brobrok dan merugikan diselesaikan melalui proses litigasi atau penuntutan terhadap pihak – pihak yang dirasa bertanggung jawab manakala ada elemen masyarakat yang merasa dirugikan oleh kesewenang – wenangan.

Konsepsi Wawasan Nusantara Dalam Menghadapi Ketidapastian Global

            Secara historical, bangsa Indonesia lahir karena adanya common interest yang sama, yakni keinginan untuk keluar dari belenggu penjajahan. Namun menilik lebih dalam, perjalan sejarah kehidupan bangsa Indonesia lahir dari sebuah proses yang tidak sebentar, dimulai dari berdirinya Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, sampai dengan Kemerdekaan RI 1945. Pada sisi lainnya, perjalanan geopolitik Indonesia bisa dibagi kedalam lima segmen titik utama sebagaimana yang disampaikan oleh Andi Widjajanto (2022).

Pertama, perumusan kerangka dasar kebangsaan Indonesia yang diawali dengan gagasan awal tentang Indonesia Merdeka, Persatuan Indonesia, hingga prinsip dasar negara integralistik. Kedua, inisiatif global Bung Karno untuk membentuk Tata Dunia baru yang menekankan pentingnya perjuangan anti kolonialisme/imperialisme untuk bangsa-bangsa Asia-Afrika. Ketiga, peluncuran pilar geopolitik negara kepulauan melalui Deklarasi Juanda 1957 hingga bentuk rezim hukum laut internasional UNCLOS 1982. Deklarasi Juanda juga menjadi tonggak penting dalam pengembangan konsep Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa, tentang jati diri dan lingkungan yang mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta kesatuan wilayah untuk mendukung pencapaian kepentingan nasional. Deklarasi Djuanda yang kemudian diwujudkan melalui Konvensi Hukum Laut Dunia telah memfasilitasi gagasan kesatuan wilayah serta pernyataan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip kenegaraan berlandaskan kepulauan. Keempat, era otonomi daerah yang dikembangkan diawal reformasi untuk mengimplementasikan paradigma desentralisasi pemerintah pusat sembari tetap menguatkan komitmen negara kesatuan. Kelima, era pembangunan infrastruktur dan konektifitas untuk mewujudkan pembangunan Indonesia Sentris yang saat ini sangat gencar kita gelorakan, salah satunya melalui poros maritim.

            Dunia saat ini, masuk dalam situasi yang penuh dengan ketidakpastian, dimana situasi dinamika global selalu dalam keadaan yang berubah-ubah. Setidaknya dalam dua tahun terakhir, dunia dikejutkan dengan wabah Covid-19 yang terjadi dan menyebar cepat ke hampir semua negara yang ada termasuk Indonesia, sehingga membuat semua negara melakukan beragam cara upaya untuk meminimalisir dampak pandemi tersebut. Di kala situasi mulai sedikit mereda, dunia kembali dikejutkan dengan adanya konflik terbuka antara Rusia dan Ukraina, yang juga memberikan impact yang tidak kecil bagi semua sendi kehidupan bermasyarakat.

            Mejadi penting bagi seluruh elemen bangsa untuk memahami konsepsi wawasan nusantara ini, sehingga bisa memunculkan sikap nasionalisme dan kecintaan terhadap tanah air. Tidak semata terkait penguasaan ruang darat, laut, maupun udara sebagai bentuk kedaulatan negara, namun juga harus mencangkup pada penguasaan ruang maya. Penguatan pada penguasaan ruang maya akan memberikan relevansi pada sendi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial suatu negara, untuk itu pemerintah melalui kementerian terkait meluncurkan Program Gerakan Nasional Literasi Digital, yang diarahkan pada pembangunan budaya, keamanan, etik, dan skill para pengguna.

            Menilik pada Roadmap Sustainable Development Golas Indonesia menuju 2030, maka kita bisa mencermati aspek-aspek apa saja yang akan dikejar dan menjadi target dari pemerintah. Terkait hal tersebut, pemerintah memang sedang gencar untuk membangun konektivitas menuju Indonesia sentris, dengan mengedepankan poros maritim yang bagian untuk menghubungkan kepulauan-kepulauan yang ada di Indonesia. Pemerataan pembangunan perlu untuk di kejar, melalui berbagai upaya yang beragam termasuk diantaranya dengan membangun infrastruktur di berbagai daerah.

            Kita memahami, bahwa setidaknya ada dua problem besar yang dihadapi hampir semua negara terkait dengan ketidakpastian global, pertama adalah problem Energi (bensin, gas, dll) dan kedua adalah Pangan. Setidaknya bisa kita lihat, bagaimana perkembangan harga bensin di negara Singapura yang mencapai Rp. 32.000, di negara Jerman mencapai Rp. 31.000, Thailand mencapai Rp. 20.000, sedangkan di Indonesia pertalite masih dipertahankan untuk tetap di angka Rp. 7.650, pertamax Rp.12.500, karena pemerintah memberikan subsidi yang tentu saja juga akan menjadi beban negara. Harga beras di Indonesia masih Rp. 10.700, sedangkan di negara lain sudah banyak yang mengalami kenaikan.

            Kenaikan-kenaikan harga barang, tentu saja akan memberikan implikasi pada angka inflasi di sebuah negara, AS saat ini sudah mengalami inflasi di angka 8,3%, Turki mengalami kenaikan hampir 70%, sedangkan Indonesia saat ini berada diangka 3,5% karena adanya upaya-upaya dari negara. Karenanya memang diperlukan adanya sense of crisis yang sama dari seluruh pihak, termasuk dalam kaitannya dalam upaya pemerintah menggelorakan Gerakan nasional Bangga Buatan Indonesia. Dengan adanya berbagai upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, disertai dengan penguatan pada nilai-nilai persatuan dan kesatuan dari seluruh elemen bangsa, maka diharapkan Indonesia bisa mengalami lompatan kemajuan menuju Indonesia Emas.

Sekurangnya, terdapat tiga syarat utama bagi sebuah negara untuk bisa menjadi Negara Superpower, yakni memiliki pertama wilayah yang luas, kedua memiliki Sumber Daya Manusia yang berkualiltas, dan ketiga memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah. Ketiga hal tersebut telah dimiliki oleh Indonesia, artinya peluang kita untuk mewujudkan Indonesia Emas sungguh sangat terbuka lebar. Peran serta dari seluruh elemen bangsa, adalah hal yang mutlak dibutuhkan untuk mewujudkan mimpi para founding father mewujudkan Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur dan diperhitungkan sebagai negara besar di dunia.

Peran Pemuda

            Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, perumusan kerangka dasar kebangsaan Indonesia yang diawali dengan gagasan awal tentang Indonesia Merdeka, Persatuan Indonesia, hingga prinsip dasar negara integralistik, dimulai dari berdirinya Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, sampai dengan Kemerdekaan RI 1945. Jika kita cermati, Budi Utomo lahir tidak lepas dari peran Mahasiswa Stovia dan Wahidin Sudirohusodo, peran pemuda sudah muncul dalam membangkitkan rasa nasionalisme dan kebangsaan sampai dengan lahirnya Sumpah Pemuda serta inisiasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945.

            Kondisi ini mengartikan bahwa peran serta pemuda memiliki nilai strategis yang sangat berarti dan menghiasi sejarah panjang kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, baik sebelum kemerdekaan, saat kemerdekaan, dan tentu saja setelah kemerdekaan Indonesia, termasuk di era kontemporer saat ini. Setidaknya, saat ini para pemuda bisa berperan dalam tiga aspek utama, yaitu pertama, sebagai elemen terdepan dalam menjaga stabilitas kamtibmas; kedua, dalam mendukung mewujudkan iklim investasi yang kondusif; dan yang ketiga, melakukan terobosan ekonomi yang kreatif.             Upaya mewujudkan pemuda sebagai elemen terdepan dalam menjaga stabililtas kamtibmas bisa dilakukan melalui beragam cara seperti kegiatan karangtaruna, kegiatan pramuka sakabhayangkara, termasuk kegiatan-kegiatan keorganisasian karena akan membekali pemuda dengan beragam wawasan yang membentuk para pemuda untuk menjadi pribadi yang akademisi dan berkarakter serta memiliki daya juang kebangsaan yang tinggi. Kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang dilaksanakan dikampus-kampus secara sadar maupun tidak sadar juga membentuk para pemuda untuk menjadi sosok yang berdisiplin dan cinta terhadap tanah air. Dalam mendukung mewujudkan iklim investasi yang kondusif, dimana para pemuda bisa menyumbangkan ide-ide kritisnya mewujudkan pembangunan yang berkeadilan, sedangkan dalam melakukan terobosan ekonomi yang kreatif dapat dilakukan melalui kegiatan – kegiatan yang kemandirian, investasi pada bidang ekonomi kreatif dan sebagainya. Kita bisa mellihat bagaimana tokoh – tokoh pemuda di Indonesia menjelma dan meningkatkan kapasitasnya dalam bidang ekonomi seperti Bapak Nadiem Makarim saat mendirikan Gojek, Ahmad Zakky saat mendirikan bukalapak, William tanuwijaya saat mendirikan tokopedia, maupun tokoh muda di Malang seperti Gilang Widya Pramana (J99) saat mendirikan MS Glow. Kesemua tokoh pemuda itu bisa menjadi kisah inspiratif nyata bagi para pemuda sekalian untuk mau menggali, mempelajari, dan menambah wawasannya guna mewujudkan peran pemuda dalam melakukan terobosan dibidang ekonomi kreatif.

Implementasi Nilai Pancasila Guna Membentuk Etika & Moral Pers Polri Dalam Rangka Mewujudkan Polisi Yang Profesional



Pendahuluan

Pancasila adalah ideologi bangsa, sumber dari sistem nilai, serta pula sebagai dasar negara Indonesia, yang bersifat final dan diyakini kebernarannya secara objektif. “

Bung Karno dalam Pidato HUT Proklamasi, 1966) mengatakan bahwa “…Pancasila kecuali suatu Weltanschauung[1] adalah alat pemersatu, dan siapa tidak mengerti perlunya persatuan dan siapa tidak mengerti bahwa kita hanya dapat merdeka dan berdiri tegak merdeka jikalau kita tidak bersatu, siapa yang tidak mengerti itu, tidak mengerti Panca Sila…”. Begitu besarnya kekuatan Pancasila dalam membentengi bangsa ini, tidak hanya dari pengaruh negatif ideologi asing, melainkan pula dalam menyambut berbagai perkembangan dunia global yang berlangsung dengan sangat cepat.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila (KeTuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan), secara implisit telah dimanifestasikan didalam pedoman hidup dan pedoman karya Kepolisian dalam wujud Tri Brata dan Catur Prasetya. Rumusan tersebut dikandung maksud agar setiap insan Bhayangkara dapat memberikan pengabdian terbaiknya kepada sebesar-besarnya masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, yang sejalan dengan tugas pokoknya sebagai pemelihara kamtibmas, penegak hukum, dan pelindung, pengayom, pelayan masyarakat. Lanjutkan membaca “Implementasi Nilai Pancasila Guna Membentuk Etika & Moral Pers Polri Dalam Rangka Mewujudkan Polisi Yang Profesional”

Mengefektifkan Perubahan Untuk Mewujudkan Polri Yang Lebih Baik


 

Pendahuluan

Reformasi 1998 dapat dikatakan sebagai realitas sejarah bangsa Indonesia, karena kehadirannya telah meniadakan rezim otoritarian melalui segenap perubahan. Pasca reformasi, berbagai pembenahan terus terjadi, berjalan paralel dengan perbaikan sistem tata kelola pemerintahan yang mengusung prinsip-prinsip clean government dan good governance.

Pemerintah bahkan mengeluarkan seperangkat peraturan sebagai visi yang berkelanjutan berwujud RPJPN, RPJMN, serta RKP pada setiap tahunnya. Dalam penataan reformasi birokrasi, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 81 Tahun 2010, sebagai acuan bagi K/L/Pemda dalam melakukan langkah pembenahan sehingga mampu meraih kepercayaan masyarakat. Sebagaimana pendapat Gadot & Mizrahi (dalam Atmaji, 2016, hlm.2) yang mengemukakan bahwa “…inefisiensi dan ketidakadilan dalam pelayanan publik merupakan sumber utama ketidakpercayaan publik kepada pemerintah…”, sehingga public trust menjadi penting di era demokratisasi ini. Lanjutkan membaca “Mengefektifkan Perubahan Untuk Mewujudkan Polri Yang Lebih Baik”